Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Vonis Hukuman 4,6 Penjara ke Tom Lembong: Tipisnya Garis Kebijakan dan Kriminalisasi

Vonis hukuman 4, 6 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Tipikor terhadap Thomas Lembong jadi pembicaraan luas di masyarakat.

Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Jeprima
SIDANG TOM LEMBONG - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025). Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, hakim meyakini Tom Lembong telah terbukti bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan impor gula. Tom Lembong divonis 4 tahun dan enam bulan (4,5 tahun) penjara. Tribunnews/Jeprima 

 

Vonis Hukuman 4,6 Penjara ke Tom Lembong: Tipisnya Garis Kebijakan dan Kriminalisasi

oleh Rimba Supriatna*)

PUTUSAN VONIS hukuman 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat, 18 Juli 2025 jadi pembicaraan luas di masyarakat.

Vonis hukuman tersebut adalah preseden yang menarik, dan bahkan sedikit menakutkan, bagi siapa saja yang tertarik pada bagaimana hukum dan kebijakan bekerja di Indonesia.  

Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana batas antara kebijakan administratif yang sah dan perilaku kriminal yang ilegal?

Menyusuri jejak di belakang, saat Tom Lembong adalah kepala BKPM.  Dia mengeluarkan kebijakan yang memberikan izin impor kepada BUMN, termasuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), berdasarkan instruksi Presiden, tanpa terlebih dahulu mengadakan rapat koordinasi terbatas (Rakortas).  

Majelis hakim mengatakan bahwa tindakan ini melanggar aturan dan merugikan negara. Namun, penting untuk menanyakan: apakah pengambilan kebijakan yang tidak melalui Rakortas otomatis menjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum?

Diskresi dalam hukum administrasi memberi pejabat publik hak untuk membuat keputusan dalam situasi yang tidak biasa atau ketika aturan tertulis tidak secara jelas mengatur.  

Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan secara jelas menyebutkan diskresi sebagai suatu kewenangan yang sah.

Jika Rakortas adalah standar untuk legalitas, apa dasar normatifnya?  

Apakah hukum sekarang menggunakan praktik administratif yang tidak tertulis sebagai cara untuk memutuskan kasus-kasus pidana? Jika demikian, kita berada di jalur licin menuju kriminalisasi kebijakan.

Mens Rea: Pondasi yang Terlupakan dari Hukum Pidana

Salah satu bagian paling menarik dari pembelaan Tom Lembong adalah ketika dia mengatakan bahwa dia "terbukti tidak memiliki mens rea."  

Mens rea, atau niat jahat, adalah gagasan utama di balik hukum pidana modern.  Sebuah kejahatan tidak bisa dianggap sebagai kejahatan jika orang yang melakukannya tidak bermaksud untuk melakukannya, kecuali dalam beberapa kasus delik culpa.

Eugene J. Chesney di tahun 1938 menulis sebuah jurnal di Northwestern University School of Law yang berjudul Concept of Mens Rea in the Criminal Law, ia menyatakan bahwa Mens rea is the mental element necessary to convict for any crime, and is not based upon negligence.

Menurutnya mens rea adalah unsur batin (niat) atau kesadaran akan konsekuensi yang harus ada agar seseorang dapat dihukum. Kelalaian, di sisi lain, hanyalah ketidakhati-hatian dan tidak sama dengan niat buruk.

Karena itu, sejatinya hukuman hanya boleh diberikan untuk tindakan yang memiliki mens rea yang jelas, bukan sekadar kesalahan prosedural.

Jika setiap kesalahan administratif dikriminalisasi, hukum pidana akan kehilangan fungsinya sebagai solusi terakhir dan justru menciptakan efek pencegahan yang salah serta membekukan keberanian pejabat untuk mengambil keputusan strategis demi kepentingan umum.

Baca juga: 2 Mantan Penyidik Beri Saran KPK: Banding Vonis Hasto, Temukan Harun Masiku

Dalam kasus ini, tidak ada bukti bahwa Tom Lembong menerima suap, hadiah, atau melakukan hal-hal untuk kepentingan pribadinya.

Tidak ada bukti jelas tentang konflik kepentingan, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan.  Justru sebaliknya, kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional akan gula dan menstabilkan harga.

Jika tidak ada niat buruk dan kerugian negara hanya diukur dari selisih antara harga pasar dan harga pengadaan, apakah ini benar-benar kasus korupsi?

Atau apakah ini hanya perbedaan interpretasi terhadap kebijakan yang kini dibungkus dalam narasi kriminal?

Kerugian Negara: Antara Angka dan Tafsir

Jaksa mengatakan bahwa kerugian negara mencapai Rp515 miliar.  Hakim mengubah angkanya menjadi Rp194 miliar.  Ini bukan hanya perbedaan angka semata, ini menunjukkan bahwa cara perhitungan apparat penegak hukum tidak konsisten.  

Apakah angka itu merupakan hasil audit oleh BPK?  Apakah ada perhitungan tentang manfaat ekonomi dari stabilitas harga?  

Apakah kerugian tersebut memperhitungkan kebutuhan makanan darurat? Hal inilah yang harus dijelaskan secara terang benderang.

Baca juga: Kesaksian Tom Lembong Sebut Ada Perintah Jokowi Menarik Perhatian Hotman Paris, Berharap Dibebaskan

Di sisi lain PPI, sebagai badan usaha milik negara (BUMN), juga dianggap sebagai entitas yang mewakili negara.  Namun dalam banyak keputusan Mahkamah Agung, BUMN dipandang sebagai entitas hukum swasta yang terpisah dari negara.  

Jika setiap kerugian dalam bisnis BUMN secara otomatis dianggap sebagai kerugian bagi negara, maka semua risiko bisnis di sektor publik bisa diubah menjadi kejahatan.

Ini membuka banyak ruang untuk ketidakpastian hukum, yang akan membuat sangat berbahaya bagi sektor publik untuk membuat keputusan.

Pijakan Ideologis dalam Putusan

Yang paling mengejutkan adalah salah satu pertimbangan hakim yang menyebut bahwa tindakan Tom Lembong mencerminkan kecenderungan pada sistem ekonomi kapitalis yang bertentangan dengan Pancasila.  

Ini bukan lagi argumen hukum, melainkan argumen ideologis subjektif. Keputusan pengadilan harus didasarkan pada penalaran hukum, bukan penilaian nilai yang samar dan relatif.  

Menjatuhkan hukuman karena perbedaan preferensi ekonomi merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum.  

Jika kecenderungan ekonomi seseorang dapat digunakan sebagai dasar untuk hukuman, maka kita telah memasuki era kejahatan pemikiran, di mana bahkan cara orang berpikir dapat dikriminalisasi.

Mengembalikan Prinsip Proporsionalitas dan Proses Hukum yang Adil

Hukum pidana bukanlah alat untuk menyelesaikan perbedaan pandangan kebijakan, tetapi adalah ultimum remedium.  Dalam banyak sistem hukum modern, kesalahan administratif diperbaiki melalui etika, audit, atau koreksi internal.  

Hukuman hanya terjadi jika seseorang melakukan kesalahan dengan sengaja dan menyebabkan kerugian nyata.

Prinsip proporsionalitas harus menjadi kuncinya.  Jika seorang pejabat publik dihukum karena kesalahan prosedural tanpa keuntungan pribadi atau niat buruk, ini akan memiliki efek yang salah dengan membuat orang takut.  

Pejabat cenderung bermain aman, tidak berani mengambil keputusan berisiko bahkan ketika diperlukan dengan pertimbangan demi kepentingan umum.

Ini juga akan berdampak negatif pada kebijakan publik.  Indonesia membutuhkan keberanian untuk mengambil langkah berani dalam menghadapi masalah ekonomi dan pangan.  

Tetapi keberanian hanya akan tumbuh jika hukum melindungi niat baik dan tindakan yang wajar.

Kasus Tom Lembong adalah contoh ketegangan yang terus berlangsung antara hukum dan kebijakan. Kita tidak hanya berbicara tentang kuota impor atau angka kerugian.  

Kita sedang membicarakan batas kekuasaan pemerintah untuk menghukum pejabat yang melaksanakan perintah demi kebaikan publik.

Jika garis ini tidak dibuat jelas, tidak ada pejabat yang akan aman.  Adalah mungkin untuk menjadikan apa pun sebagai kejahatan, tergantung pada bagaimana hal itu ditafsirkan dan kepentingan apa yang dipertaruhkan.  

Di sinilah penting bagi pegiat hukum, akademisi, dan sipil untuk bersuara.

Hukum Harus Menjadi Penjaga, Bukan Penjebak

Hukum harus berdiri di atas asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.  Ini bukan alat kekuasaan untuk membuat orang menjadi kurang berani.  Kasus Tom Lembong menunjukkan betapa pentingnya kita kembali pada prinsip-prinsip dasar hukum pidana dan administrasi pemerintahan.

Apakah semua kesalahan kebijakan harus dihukum di pengadilan? Apakah benar untuk menghukum seseorang karena membuat keputusan tanpa niat buruk?

Bisakah pandangan ekonomi yang berbeda digunakan sebagai dasar untuk sebuah putusan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apa yang akan terjadi pada hukum kita di masa depan.  

Dan jika kita tidak memperhatikan, jangan terkejut jika hukum kehilangan wajah keadilannya dan menjadi tidak lebih dari sekadar bayangan dari interpretasi kekuasaan.


*) Rimba Supriatna adalah advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba).

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved