Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Hari Pancasila

Hari Lahirnya Pancasila dan Bulan Bung Karno, Mewujudkan RPJMN Berbasis Trisakti

Kedaulatan politik menjadi prasyarat untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengembangkan kepribadian kebudayaan yang autentik.

Tribunnews/
HARI PANCASILA - Anggota Komisi III DPR RI F-PDIP, I Wayan Sudirta. Ia mengatakan, Pembangunan yang adil, merata, dan berpijak pada nilai luhur kebangsaan harus menjadi kompas utama. 

Ini mencakup kemandirian pangan, energi, industri, keuangan, dan teknologi. Bagi Soekarno, kemerdekaan politik tanpa kemandirian ekonomi adalah kemerdekaan yang semu. 

Beliau menyadari bahwa ketergantungan ekonomi pada bangsa lain akan membuat Indonesia rentan terhadap tekanan dan eksploitasi, sehingga cita-cita kedaulatan yang sesungguhnya tidak akan tercapai. Oleh karena itu, berdikari secara ekonomi menjadi imperatif dalam visinya tentang Indonesia yang maju dan berdaulat.

Prinsip ini harus tercermin dalam RPJMN sebagai akar dari pembangunan nasional, yakni:

1. Mengandalkan Kekuatan Sendiri. Esensi dari berdikari adalah keyakinan pada kemampuan bangsa Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan sumber daya manusia (SDM) yang potensial. 

2. Swasembada Pangan. Kemandirian pangan menjadi prioritas utama. Soekarno menginginkan Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri tanpa harus bergantung pada impor. Ini terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional. 

3. Kemandirian Energi. Soekarno juga menekankan pentingnya kemandirian dalam sektor energi. Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber energinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada energi impor. 

4. Pengembangan Industri Nasional. Membangun industri yang kuat dan mandiri adalah kunci berdikari secara ekonomi. Soekarno mendorong pengembangan sektor industri yang mampu menghasilkan barang dan jasa bernilai tambah tinggi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. 

5. Kemandirian Keuangan. Soekarno menginginkan Indonesia memiliki sistem keuangan yang kuat dan mandiri, tidak didikte oleh kekuatan finansial asing. Ini mencakup pengelolaan keuangan negara yang prudent, pengembangan lembaga keuangan nasional, dan pengendalian modal asing yang bijaksana. 

6. Kemandirian Teknologi: Dalam era modern, Soekarno juga menyadari pentingnya kemandirian teknologi. Indonesia harus berinvestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak terus-menerus menjadi konsumen teknologi dari negara lain. 

7. Menolak Neokolonialisme Ekonomi. Konsep berdikari secara ekonomi adalah wujud penolakan terhadap segala bentuk neokolonialisme ekonomi, di mana negara-negara maju secara tidak langsung mengontrol dan mengeksploitasi negara-negara berkembang melalui mekanisme ekonomi. 

8. Ekonomi Kerakyatan. Meskipun menekankan kemandirian, Soekarno juga mengedepankan sistem ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir elite. Koperasi dan UMKM memiliki peran penting dalam mewujudkan berdikari secara ekonomi yang inklusif.

Untuk mengembangkan Berkepribadian dalam Kebudayaan, memiliki identitas nasional yang kuat yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa, adat istiadat, kearifan lokal, dan warisan budaya. Ini mencakup pembangunan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya, pengembangan seni dan kreativitas, serta penguatan nilai-nilai toleransi dan gotong royong adalah prinsip utamanya.

RPJMN 2025-2029 dan Wacana PPHN: Sinergi atau Redundansi?

Berdasarkan hal di atas, ide dasar untuk tidak meninggalkan konsep Tri Sakti Soekarno menjadi kaharusan bagi landasan pemangunan ke depan. Wacana pengembalian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui amandemen UUD 1945 yang digulirkan MPR RI menambah dimensi baru dalam diskusi perencanaan pembangunan.

Pertanyaannya: Apakah kita butuh PPHN atau cukup memperkuat RPJPN sebagai haluan jangka panjang?

1. Posisi RPJMN saat ini: RPJMN adalah turunan dari UU SPPN dan merupakan kewenangan Presiden. Ini memberikan fleksibilitas bagi Presiden terpilih untuk menerjemahkan visi-misinya ke dalam rencana konkret.

2. Potensi PPHN: Jika PPHN terwujud sebagai dokumen haluan negara yang ditetapkan oleh MPR (misalnya dalam bentuk TAP MPR), ia akan memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi dari UU dan Perpres. PPHN diharapkan menjadi panduan pembangunan jangka panjang (20-25 tahun atau bahkan lebih) yang lebih mengikat dan lintas periode kepresidenan.

Sinkronisasi dan Implikasi: 

1. Jika PPHN ada sebelum RPJMN: Idealnya, RPJMN akan menjadi penjabaran dari PPHN.

2. Jika RPJMN ada sebelum PPHN (seperti kondisi saat ini): Maka ketika PPHN disahkan, RPJMN 2025-2029 (dan RPJPN yang ada) mungkin perlu disesuaikan atau setidaknya dipastikan selaras dengan PPHN. Ini dapat menimbulkan implikasi pada kontinuitas dan konsistensi perencanaan.

3. Substansi PPHN: Kualitas PPHN akan sangat menentukan. Jika PPHN hanya bersifat umum dan abstrak, ia mungkin tidak banyak memberi nilai tambah. Namun, jika terlalu detail, ia dapat membatasi ruang gerak eksekutif dan inovasi.
Kesimpulan: Menuju Implementasi yang Transformatif dan Akuntabel
RPJMN 2025-2029 adalah dokumen penting dengan ambisi besar. Namun, keberhasilannya tidak hanya terletak pada ketebalan dokumen atau rincian matriks, melainkan pada sejauh mana ia mampu diimplementasikan secara konsisten, akuntabel, dan transformatif.
Kritik dari perspektif Pancasila, hukum, keberlanjutan, dan keterkaitannya dengan PPHN bukanlah untuk menafikan upaya yang telah dilakukan, melainkan untuk memastikan bahwa arah pembangunan Indonesia benar-benar menuju cita-cita proklamasi dan visi Indonesia Emas 2045 yang adil, makmur, dan berkelanjutan. 

Diperlukan pengawalan publik yang ketat, komitmen politik yang tak tergoyahkan, birokrasi yang profesional dan bersih, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu agar RPJMN ini tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh tumpah darah Indonesia.

Terakhir, dalam semangat proklamasi serta ideologi bangsa, kita tak boleh lupa pesan Bung Karno:

“Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”
RPJMN harus menjadi bukti bahwa pembangunan adalah alat untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan—bukan sekadar alat pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir elite. 

Pembangunan yang adil, merata, dan berpijak pada nilai luhur kebangsaan harus menjadi kompas utama.

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved