Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ijazah Jokowi, Perang Narasi dan Kemenangan Hati Nurani

Berikut ini artikel dari Tribunners Xavier Quentin Pranata. Terkait isu tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi)

|
TribunSolo.com/Ahmad Syarifuddin
Dalam foto: Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat ditemui di kediamannya di Jalan Kutai Utara Nomor 1, Kelurahan Sumber, Kota Solo,Senin (5/5/2025). 

Para pesohor baik di dunia politik maupun budaya dan sastra memandang debat sebagai api pembakaran dan palu tempaan untuk mendapatkan emas murni. 

Margaret Thatcher berkata, “I love argument, I love debate. I don't expect anyone just to sit there and agree with me, that's not their job.” Tidak ada tempat bagi “yes man” dan “yes woman” di hati wanita besi ini. Orang yang menuruti apa pun yang dikatakan dan dilakukan pemimpinnya hanyalah penjilat.

Jesse Jackson bahkan mengatakan, “Deliberation and debate is the way you stir the soul of our democracy.”

Artikulasi atau esensi?

Nada tinggi dalam perdebatan memang sering mengubah diskusi jadi persekusi. Debat apa pun bentuknya seharusnya tidak punya jenis kelamin. Beda sekali dengan apa yang dikatakan Amos Bronson Alcott. Guru, penulis, filsuf, dan pembaharu Amerika ini berkata, “Debate is masculine, conversation is feminine.” Saya memaknainya begini: ketimbang debat dengan nada tinggi, bukankah jauh lebih elok jika ngobrolinnya sambil ngeteh atau minum kopi.

Novelis dan kritikus Inggris Samuel Butler mempunyai pikiran sejernih berlian: “It is not he who gains the exact point in dispute who scores most in controversy - but he who has shown the better temper.

Sangat setuju. Saat melihat mamanya dan kakak sulungnya berdebat panas, anak bungsu saya berbisik ke telinga saya, “Kita seharusnya bisa teguh memegang prinsip yang kuat tanpa menaikkan tensi suara.” Keren!

Meskipun paling buncit, anak bungsu saya ini lebih menekankan pemikiran rasional ketimbang letupan emosional. Saat kami keberatan dengan pilihan jurusan kuliahnya dia ingin ambil beverage technology di Technical University of Munich (TUM) sementara istri saya ingin dia kuliah bisnis anak saya dengan legawa melepaskan keinginannya itu. Akhirnya dia malah ambil jurusan yang di luar bayangan kami: graphic design dan meneruskan masternya di bidang teologi. “Selesai master ingin ambil apa lagi?” tanya saya penasaran. Tanpa ragu-ragu anak saya menjawab, “Psikologi.”

Demokrasi atau persekusi?

Masalahnya di negeri ini kadang yang berartikulasi paling kencang dengan nada tinggi justru memenangkan peperangan paling tidak didengarkan ketimbang silent majority yang bisa jadi benar dan lebih wise. Sikap seperti ini mengingatkan saya pada peribahasa Minang “Bak si bisu barasian, takana lai takatokan tido.” Mimpi tanpa mampu berartikulasi sia-sia saja.

Phytagoras menyampaikan pendapatnya dengan cara sarkas tapi cerdas dan sekeras cadas. “Lebih baik diam saja daripada berdebat dengan orang bodoh,” ujar filsuf Yunani ini.
Namun, jika yang kurang qualified ternyata lebih bernyali dan punya teman ‘raksasa’, secerdas apa pun orang itu, kalau diajak duel fisik ya lebih baik menepi.

Diadili atau kriminalisasi?

Plesetan dari “membela yang benar” menjadi “membela yang bayar” membuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum jadi buyar dan ambyar. Di tengah perang narasi di berbagai platform, bagaimana kita harus bersikap? Wait and see dan berakhir seperti drama populer Waiting for Godot karya Samuel Beckett atau mengartikulasikan pendapat kita meskipun belum tentu didengar? 

Saya senang dengan kisah klasik ini. Seorang merasa keheranan saat melihat anak kecil memungut satu per satu bintang laut yang terdampar di pantai. Dalam waktu singkat, saat mentari semakin tinggi, bintang laut itu bisa mati terbakar matahari.

Namun, saat melihat jumlah bintang laut yang terlalu banyak untuk diselamatkan, orang itu mendekati bocah itu dan berkata, “Nak, berapa bintang laut yang bisa engkau selamatkan sementara jauh lebih banyak lagi yang akan mati. Apakah apa yang engkau lakukan ini tidak sia-sia?”

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved