Blog Tribunners
Dilema Konstitusional dalam Penetapan PPHN: Tap MPR, UU atau Konvensi?
Indonesia dinilai mengalami kekosongan arah pembangunan jangka panjang yang mengikat secara politis dan filosofis.
Penulis:
Hasanudin Aco
Editor:
Malvyandie Haryadi
Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.
Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI-Perjuangan
TRIBUNNERS - Setelah dihapusnya kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pasca amandemen UUD 1945, Indonesia mengalami kekosongan arah pembangunan jangka panjang yang mengikat secara politis dan filosofis.
Dalam sistem presidensial pasca reformasi, pembangunan nasional dijalankan sepenuhnya oleh Presiden berdasarkan visi dan misi yang ditawarkan dalam kontestasi elektoral.
Hal ini menimbulkan sejumlah tantangan serius, antara lain inkonsistensi arah pembangunan lintas rezim, lemahnya kesinambungan kebijakan, serta disharmoni antara pusat dan daerah.
Urgensi kehadiran kembali dokumen haluan negara seperti Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) semakin dirasakan ketika sistem perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), terbukti tidak cukup mampu menjamin konsistensi arah pembangunan jangka panjang.
SPPN memang telah mengatur mekanisme perencanaan yang mencakup Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta rencana-rencana pembangunan daerah.
Namun, karena RPJPN dan RPJMN merupakan produk teknokratis dari eksekutif, ia tidak memiliki legitimasi politik dan daya ikat moral sebesar GBHN yang dahulu ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebagai akibatnya, RPJMN cenderung berubah sesuai visi-misi presiden terpilih, yang sering kali berbeda secara signifikan dari rezim sebelumnya.
Hal ini membuat pembangunan nasional rawan mengalami disorientasi dan tidak berkesinambungan. Berdasarkan hal tersebut, PPHN diusulkan sebagai solusi strategis untuk menjawab permasalahan tersebut.
Namun, hingga kini belum terdapat konsensus tentang bentuk hukum PPHN yang ideal. Kajian ini akan membahas berbagai alternatif bentuk hukum PPHN, menilai kelebihan dan kelemahannya, serta memberikan rekomendasi yang sesuai dengan prinsip konstitusionalisme, sistem presidensial, dan nilai-nilai Pancasila.
Urgensi PPHN dalam Perspektif Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia memuat nilai-nilai fundamental yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga operasional dalam penyelenggaraan negara.
Kelima sila Pancasila menuntut kehadiran negara yang berlandaskan moralitas (sila I), menjamin keadilan dan perikemanusiaan (sila II), menjaga persatuan (sila III), mengedepankan demokrasi permusyawaratan (sila IV), dan menegakkan keadilan sosial (sila V).
PPHN harus berperan sebagai instrumen negara untuk menjembatani nilai-nilai ideal Pancasila dengan kebijakan publik. Tanpa adanya arah pembangunan nasional yang berlandaskan pada Pancasila, maka pembangunan cenderung bersifat pragmatis, jangka pendek, dan rentan terhadap kepentingan politik elektoral.
Tinjauan Konstitusional dan Teoritis
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Guru Gugat UU Pemda ke MK, Minta Urusan Pendidikan Diambil Alih Pemerintah Pusat |
![]() |
---|
Dua Gugatan Ditolak MK, Roni Omba–Marlinus Resmi Menang Pilkada Boven Digoel |
![]() |
---|
Dugaan Pemilih Melebihi DPT dan Relawan Bayaran, MK Lanjutkan Sidang PHPU Papua dan Barito Utara |
![]() |
---|
TNI Beri Sinyal Akan Tetap Ambil Langkah Hukum Terhadap Ferry Irwandi Meski Ada Putusan MK |
![]() |
---|
Minta Polda Metro Jaya Tak Proses Ferry Irwandi, IPW Singgung Putusan MK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.