Blog Tribunners
Dilema Konstitusional dalam Penetapan PPHN: Tap MPR, UU atau Konvensi?
Indonesia dinilai mengalami kekosongan arah pembangunan jangka panjang yang mengikat secara politis dan filosofis.
Berkenaan dengan “Ketetapan MPR” dimaksud, baik sebelum maupun setelah perubahan, secara tekstual atau eksplisit, tidak ditemukan dalam UUD 1945.
Sebelum perubahan UUD 1945, adanya wewenang MPR (menetapkan Undang-Undang Dasar dan mengubah Undang-Undang Dasar; menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara) telah dimaknai sebagai bentuk hukum berupa “Ketetapan” dengan adanya kata “menetapkan” dalam kedua kewenangan dimaksud.
Menurut Bagir Manan (1992), makna tersirat tersebut sekaligus mengandung kekuasaan tersirat (implied power) yang diakui setiap sistem undang-undang dasar. Dalam praktik, bentuk hukum berupa “Ketetapan MPR” diatur secara eksplisit dalam sejumlah Ketetapan MPR (Tap MPR No XX/MPRS/1966 dan Tap MPR No III/MPR/2000) dan undang-undang (UU No 12/2011).
Putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 tidak memberikan penegasan berkenaan dengan kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem ketatanegaraan.
Putusan ini hanya menegaskan kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Putusan MK ini tidak secara eksplisit memberikan jawaban mengenai apakah MPR masih berwenang untuk membentuk Tap MPR baru yang bersifat regeling (mengatur).
Saya tidak menyetujui jika PPHN ditetapkan dengan UU. PPHN adalah produk MPR, maka sebaiknya menggunakan produk dari MPR. Karena MPR perlu menetapkan mekanisme evaluasi dan peninjauan periodik terhadap PPHN untuk memastikan relevansinya dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa.
Hasil evaluasi dapat menjadi dasar untuk melakukan penyesuaian atau perubahan terhadap PPHN melalui mekanisme yang sama.
Jika PPHN ditetapkan dengan Konvensi.
Keberlangsungan PPHN sebagai konvensi sangat bergantung pada kesepakatan dan komitmen berkelanjutan dari fraksi-fraksi di MPR serta Presiden. Perubahan konstelasi politik atau hilangnya kesepakatan dapat melemahkan atau bahkan menghilangkan efektivitas konvensi tersebut.
Konvensi ketatanegaraan tidak memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan peraturan perundang-undangan formal seperti Undang-Undang atau Ketetapan MPR. Kekuatannya bersumber dari praktik ketatanegaraan yang berulang, diterima, dan diyakini sebagai suatu keharusan dalam penyelenggaraan negara.
Karena tidak berakar pada peraturan formal, PPHN sebagai konvensi berpotensi menghadapi tantangan hukum terkait implementasinya. Tidak ada mekanisme penegakan hukum yang jelas jika terjadi penyimpangan dari konvensi.
Menetapkan PPHN melalui Tap MPR memiliki potensi untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan mengikat bagi arah pembangunan nasional.
Namun, langkah ini tidak terlepas dari tantangan serius terkait legitimasi kewenangan MPR pasca-amandemen UUD 1945.
Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada adanya konsensus politik yang kuat mengenai kewenangan MPR, mekanisme penjabaran dan pengawasan yang efektif, serta komitmen dari seluruh lembaga negara untuk melaksanakan PPHN secara konsisten.
Jika isu kewenangan MPR tidak diselesaikan secara tuntas, PPHN yang ditetapkan melalui Tap MPR berpotensi menjadi sumber perdebatan hukum dan politik yang berkelanjutan, yang dapat menghambat efektivitas implementasinya. Oleh karena itu, kehati-hatian dan pertimbangan matang sangat diperlukan sebelum opsi ini ditempuh.
Paling memungkinkan PPHN ditetapkan dengan Ketetapan MPR yang bersifat Beschikking. Tap MPR yang bersifat penetapan umumnya mengatur hal-hal yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai (einmalig).
Contohnya adalah penetapan tata tertib MPR atau penetapan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Berbeda dengan Tap MPR yang bersifat mengatur umum, Tap MPR penetapan tidak menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan terus-menerus.
Jika PPHN ditetapkan dengan Tap MPR bersifat penetapan, maka formatnya kemungkinan besar akan berupa pernyataan atau ketetapan MPR mengenai arah kebijakan pembangunan nasional tanpa merinci norma-norma hukum yang mengikat secara detail seperti dalam Tap MPR regeling atau undang-undang.
Karena Tap MPR bersifat penetapan umumnya tidak menciptakan norma hukum yang mengikat umum, maka kekuatan mengikat PPHN dalam format ini lebih bersifat pernyataan kehendak politik MPR.
Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya MPR untuk tetap berperan dalam memberikan arah kebijakan negara, meskipun dengan keterbatasan kewenangan legislatif pasca-amandemen UUD 1945.
Sidang khusus MPR menjadi forum simbolik untuk menyampaikan aspirasi dan arah kebijakan yang diinginkan.
Format ini mungkin lebih fleksibel dibandingkan dengan Tap MPR regeling atau undang-undang dalam hal perubahan atau penyesuaian di masa depan, karena tidak terikat pada proses legislasi yang rumit.
Kelemahannya, efektivitas PPHN sangat bergantung pada kekuatan dan daya persuasif rekomendasi MPR dalam sidang khusus tersebut. Lembaga-lembaga negara penerima rekomendasi memiliki diskresi untuk menindaklanjutinya atau tidak.
Jika rekomendasi MPR tidak diindahkan oleh Presiden dan lembaga negara lain, maka PPHN dalam format ini bisa menjadi sekadar dokumen seremonial tanpa dampak signifikan terhadap kebijakan pembangunan.
Format ini berbeda dengan GBHN di masa lalu yang ditetapkan dengan Tap MPR yang bersifat mengatur dan menjadi landasan bagi penyusunan rencana pembangunan. PPHN dalam format Tap MPR penetapan lebih bersifat arahan strategis.
Ini bisa menjadi jalan tengah untuk mengakomodasi keinginan sebagian pihak agar MPR berperan dalam haluan negara tanpa harus melalui pembentukan Tap MPR regeling yang kontroversial dari segi kewenangan. PPHN dalam format ini dapat fokus pada visi dan arah strategis jangka panjang tanpa terjebak dalam detail teknis peraturan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Guru Gugat UU Pemda ke MK, Minta Urusan Pendidikan Diambil Alih Pemerintah Pusat |
![]() |
---|
Dua Gugatan Ditolak MK, Roni Omba–Marlinus Resmi Menang Pilkada Boven Digoel |
![]() |
---|
Dugaan Pemilih Melebihi DPT dan Relawan Bayaran, MK Lanjutkan Sidang PHPU Papua dan Barito Utara |
![]() |
---|
TNI Beri Sinyal Akan Tetap Ambil Langkah Hukum Terhadap Ferry Irwandi Meski Ada Putusan MK |
![]() |
---|
Minta Polda Metro Jaya Tak Proses Ferry Irwandi, IPW Singgung Putusan MK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.