Kamis, 2 Oktober 2025

Blog Tribunners

Dilema Konstitusional dalam Penetapan PPHN: Tap MPR, UU atau Konvensi?

Indonesia dinilai mengalami kekosongan arah pembangunan jangka panjang yang mengikat secara politis dan filosofis.

Tribunnews.com/ Fersianus Waku
KEKOSONGAN ARAH PEMBANGUNAN - Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH. Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI-Perjuangan. 

Dalam kajian konstitusi komparatif, dikenal konsep Directive Principles of State Policy (DPSP), yaitu prinsip-prinsip normatif yang menjadi arahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, meskipun tidak dapat dipaksakan melalui pengadilan.

Konstitusi India (Bagian IV), Irlandia (Pasal 45), dan Jepang (Pasal 25–27) memuat prinsip-prinsip ini sebagai bagian dari etika konstitusional.

PPHN, dalam konteks Indonesia, dapat diposisikan sebagai DPSP versi nasional yang menjembatani antara nilai-nilai konstitusi dan kebijakan pembangunan. Dalam kerangka presidensialisme, prinsip ini harus bersifat mengikat secara moral dan politis, bukan yuridis, sehingga tidak menimbulkan benturan dengan kewenangan Presiden sebagai pemegang mandat elektoral.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan berwenang menyusun program pembangunan. Oleh karena itu, bentuk hukum PPHN tidak boleh mengintervensi mandat Presiden, melainkan menjadi rujukan strategis.

Menimbang Alternatif Bentuk Hukum PPHN

Salah satu isu terpenting dalam wacana PPHN adalah soal bentuk hukumnya. Apakah PPHN sebaiknya ditetapkan melalui Ketetapan MPR, cukup lewat undang-undang biasa, atau cukup berupa kesepakatan politik non-hukum?

Masing-masing bentuk tentu memiliki konsekuensi hukum, politik, dan konstitusional yang berbeda. Mari kita tinjau beberapa alternatif berikut secara singkat:

1.    PPHN sebagai Ketetapan MPR

Ini adalah bentuk yang paling mendekati tradisi masa lalu, yakni ketika MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dalam skema ini, PPHN akan menjadi dokumen yang disahkan oleh MPR melalui mekanisme resmi, dan memiliki kekuatan moral-politik yang tinggi. Namun, bentuk ini menuntut amandemen terbatas terhadap UUD 1945, sebab saat ini MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan haluan negara.

Kelebihannya: bentuk ini mengandung legitimasi kuat karena melibatkan semua unsur representasi rakyat dan daerah.

Kekurangannya: rawan menimbulkan ketegangan dengan sistem presidensial, di mana Presiden mendapatkan mandat langsung dari rakyat.

2.   PPHN sebagai Undang-Undang

Opsi ini menempatkan PPHN sebagai produk legislatif biasa—dibahas dan disahkan bersama antara DPR dan Presiden. Ia bersifat fleksibel dan tidak memerlukan perubahan konstitusi.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved