Tribunners / Citizen Journalism
Ekonomi Rusia Kebal Sanksi Barat, Tapi Mengapa Indonesia Justru Terjatuh?
Perekonomian Rusia yang semestinya terpuruk akibat sanksi Barat justru mencatat pertumbuhan ekonomi yang signifikan di 2024 menyentuh 3,8 persen.
Editor:
Choirul Arifin
Oleh : Achmad Firdaus H.
Mahasiswa Doktor Peoples' Friendship University of Russia di Moskow, Rusia
DI TENGAH gejolak geopolitik global, dua narasi ekonomi yang bertolak belakang muncul dari Rusia dan Indonesia.
Perekonomian Rusia yang semestinya terpuruk akibat sanksi Barat justru mencatat pertumbuhan ekonomi yang signifikan di 2024 menyentuh 3,8 persen.
Sementara Indonesia, yang kerap disebut sebagai 'mutiara Asia', mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan dengan melemahnya rupiah dan menurunnya daya beli masyarakat.
Fenomena ini mengundang pertanyaan: bagaimana dua negara dengan ketergantungan pada komoditas bisa mengalami jalan yang berbeda?
Di balik angka pertumbuhan Rusia yang mengesankan, tersimpan cerita yang lebih kompleks. Negeri Beruang Merah ini memang berhasil mengelak dari kehancuran ekonomi berkat kemampuan beradaptasi yang luar biasa.
Ekspor minyak dan gas ke China, India, dan negara-negara netral lainnya menjadi penyelamat utama.
Namun, strategi ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, pendapatan negara tetap mengalir, tetapi di sisi lain, Rusia semakin terperangkap dalam ketergantungan pada sektor energi yang menyumbang lebih dari 50 persen anggaran negara.
Baca juga: Analis Rusia: Turki Mau Kirim Sistem Rudal Jarak Jauh S-400 ke Suriah, Jebakan Buat Jet Israel
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak jangka panjang sanksi Barat. Industri dalam negeri Rusia memang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan melalui substitusi impor, tetapi kualitas produk sering kali tidak mampu menyaingi barang-barang Barat.
Inflasi yang tetap tinggi di angka 7,4 persen terus menggerogoti daya beli masyarakat. Gelombang emigrasi tenaga ahli juga menjadi masalah serius yang akan berdampak pada produktivitas dalam beberapa tahun mendatang.
Sementara itu, Indonesia menghadapi ujian yang berbeda. Pelemahan rupiah hingga menyentuh Rp 16.780 per dolar AS menjadi alarm yang tidak boleh diabaikan.
Penyebabnya multifaktor: dari kenaikan suku bunga AS yang menarik modal keluar, defisit neraca perdagangan, hingga ketergantungan pada impor BBM dan barang modal.
Baca juga: Trump Ancam Rusia soal Ukraina: Bertindak atau Diam!, Lavrov Malah Beri Pujian
Namun, berbeda dengan Rusia yang pertumbuhannya dibayangi ketidakpastian perang, fundamental ekonomi Indonesia masih relatif sehat.
Tantangan ke depan bagi kedua negara sama-sama berat, tetapi dengan karakter berbeda. Rusia harus menemukan cara untuk keluar dari isolasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada sektor energi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pamer Kekuatan: Rusia–Belarus Gelar Latihan Perang, Kerahkan Rudal Nuklir, Jet Bomber, hingga Tank |
![]() |
---|
10 Negara dengan Jumlah Danau Terbanyak: Kanada Peringkat Teratas Punya 879.800, Disusul Rusia & AS |
![]() |
---|
Diplomasi Besi Putin ke NATO, AS Kirim Perwira Pantau Latihan Perang Besar-besaran Rusia-Belarus |
![]() |
---|
Dukung Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Ratusan Pelaku Industri Properti Hadiri Simposium Perumahan |
![]() |
---|
Perang Kuras Keuangan Ukraina, Presiden Zelensky Butuh 120 Miliar Dolar untuk Lawan Rusia di 2026 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.