Tribunners / Citizen Journalism
Kejahatan di Ruang Kesehatan, Aspek Kebijakan Hukum, dan Solusi Multidisipliner
Kejahatan tumbuh dari celah yang dibiarkan terbuka oleh sistem—baik sistem hukum maupun sistem pelayanan kesehatansendiri. Termasuk di bidang medis.
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Pada sebuah ruang yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan dan pengharapan, ternyata diam-diam tersembunyi luka yang tak tampak bahkan oleh stetoskop.
Luka yang tak bisa sembuh barang sehari, sebulan, bahkan setahun. Kejahatan di ruang kesehatan, bagaimana pun tertutup dan tersembunyinya, adalah realitas yang tak bisa kita nafikan dari pembicaraan kita hari ini.
Peristiwa tentang dokter yang mencabuli pasien sesungguhnya bukanlah dongeng baru. Bukan muncul baru kemarin setelah terungkapnya fakta ada beberapa keluarga pasien yang dilecehkan oleh dokter dalam kondisi dibius.
Peristiwa itu cenderung berulang, ada dari waktu ke waktu, muncul dengan berbagai nama dan di berbagai tempat.
Meski demikian benang merahnya tetap sama yakni kejadian itu terjadi sebab adanya penyalahgunaan kuasa oleh mereka yang mestinya melindungi.
Kita harus menyadari bahwa dalam kondisi tubuh yang rapuh dan jiwa yang cemas, pasien atau keluarga pasien menjadi makhluk paling rentan, bahkan lebih lemah dari seorang tahanan di ruang interogasi.
Pada titik itulah kepercayaan yang begitu besar seringkali dikhianati dengan tindakan paling keji: pelecehan.
Kasus besar yang menggambarkan kondisi ini, selain kasus viral beberapa waktu lalu di Indonesia, adalah skandal Larry Nassar. Larry Nazar adalah mantan dokter tim senam nasional Amerika Serikat.
Selama lebih dari dua dekade dia menjadi dokter diketahui bahwa ia telah mencabuli lebih dari 300 atlet muda. Dengan bersembunyi di balik nama besar seorang dokter dan institusi olahraga, ia menggunakan legitimasi medis untuk menyamarkan tindakan kriminalnya.
Penyebab Utama
Kejahatan, bagaimana pun bentuknya, tidak lahir dari ruang hampa. Kejahatan tumbuh dari celah yang dibiarkan terbuka oleh sistem—baik oleh sistem hukum maupun sistem pelayanan kesehatan itu sendiri. Termasuk juga di bidang medis.
Ruangan tertutup tanpa pengawasan, tidak adanya kewajiban harus adanya pendampingan saat pemeriksaan tertentu, dan budaya diam di antara sesama profesi (dalam hal ini tenaga medis) menjadi tempat subur bagi mereka yang akan melakukan niat buruk.
Baca juga: Respons Kasus Rudapaksa Dokter Residen RSHS Bandung, Menkes Minta Peserta PPDS Tes Kesehatan Mental
Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai faktor situasional yakni ketika kesempatan yang tanpa sadar menciptakan pelaku.
Selain karena faktor situasi, faktor kurangnya pengawasan atau lack of supervision menjadi bagian penting yang membuat orang yang sudah berniat menjadi pelaku semakin yakin melakukan kejahatannya.
Sebagai contohnya adalah masih banyaknya ruang periksa yang terkesan bebas hukum atau sulit bagi penegak hukum untuk mengumpulkan bukti.
Bebas hukum sebab masih banyak tempat penting yang tak dipantau oleh CCTV, tidak adanya kecurigaan pasien karena relasi kuasa, kekosongan prosedur dalam hal kewajiban mendampingi pasien, bahkan tidak ada tempat pengaduan yang aman bagi pasien untuk mengadukan pelecehan tanpa rasa takut.
Sistem yang seharusnya hadir untuk menjaga martabat manusia malah memberi peluang bagi pelaku untuk mewujudkan niatnya.
Psikologi Relasi
Faktor lain, di luar faktor kelemahan sistem dan kelemahan pengawasan, adalah faktor psikologis. Menurut Foucault ruang periksa bukan sekadar tempat diagnostik dan terapi, melainkan juga arena produksi kuasa.
Relasi antara dokter dan pasien bagi Foucalt tidak pernah setara. Yang satu memiliki pengetahuan dan otoritas, sementara yang lain tunduk dalam ketidaktahuan dan ketergantungan.
Atas situasi ini muncullah apa yang disebut sebagai medical gaze atau pandangan medis yang mampu mendisiplinkan tubuh, sekaligus membungkam subjektivitas pasien.
Oleh sebab itu ruang kesehatan laksana tempat pendisiplinan. Di dalam ruang tersebut tubuh pasien tidak hanya diobservasi dan ditangani secara klinis, tetapi juga ditundukkan secara simbolik dan sosial.
Ketika seorang dokter menyentuh, memeriksa, atau dalam tahapan tertentu memerintahkan pasien, sang dokter tidak hanya menjalankan prosedur, tetapi mereproduksi struktur kuasa yang menempatkan pasien sebagai objek, bukan subjek. Dalam struktur semacam inilah, kejahatan dapat terjadi tanpa terlihat sebagai kejahatan.
Keterlambatan Hukum
Hukum, sebagaimana tokoh wayang yang kehilangan senjata pamungkasnya, justru sering kali datang terlambat. Hukum, dalam permasalahan ini, baru bergerak setelah tubuh terluka dan air mata tumpah.
Padahal, hukum idealnya tidak hanya menjadi pedang yang menghukum, tetapi juga tameng yang mencegah. Untuk itu maka pendekatan kebijakan hukum terhadap kejahatan ini harus berani keluar dari kerangkanya yang kaku dan merangkul ilmu-ilmu lain seperti ilmu kesehatan, psikologi dan sosiologi.
Dari perspektif psikologi tindakan mesum atau melakukan pelecehan kerap dipicu oleh distorsi kognitif dan kegagalan moral seorang individu.
Selain hal itu yang tak kalah penting untuk dicermati dalam kemungkinan seseorang melalukan tindakan mesum adalah bagaimana lingkungan—baik lingkungan kerja maupun sistem hukum—membiarkan benih kejahatan itu tumbuh.
Inilah yang membuat pendekatan integratif atau multidisipliner menjadi mutlak. Hukum harus berjalan beriringan dengan ilmu lain untuk membentuk pembenahan sistem kelembagaan, penguatan budaya etika profesi, dan peningkatan kesadaran sosial.
Solusi
Kejadian yang ramai saat ini mungkin hanyalah bagian kecil. Di luar sana masih banyak kejadian serupa yang tak terungkap.
Istilah hukum menyebutnya dengan sebutan dark number of crime atau kejahatan itu ada, tetapi tidak tercatat karena tidak dilaporkan.
Solusi yang harus dilakukan agar kejadian ini tak terulang ada tiga.
Pertama, harus ada aturan tegas yang mewajibkan pendampingan oleh perawat saat pemeriksaan pasien, khususnya jika berbeda jenis kelamin.
Kedua, rumah sakit perlu memasang sistem pengawasan seperti kamera di ruang transisi atau koridor, sambil tetap menjaga privasi pasien.
Ketiga, perlu dibentuk unit pelaporan internal yang bersifat rahasia, tapi responsif.
Unit ini penting agar nantinya korban berani berbicara tanpa takut dibungkam atau disalahkan.
Dari sisi hukum pidana perlu ada perluasan definisi pelecehan seksual yang mengatur relasi kuasa antara dokter dan pasien.
Undang-undang juga harus memberikan jaminan perlindungan kepada korban, tidak hanya dari sisi proses hukum, tapi juga dari sisi pemulihan psikologis.
Ini bukan sekadar soal memberi hukuman, tetapi mengembalikan rasa aman di tempat yang semestinya menjadi ruang pemulihan.
Penutup
Akhirnya kita semua sebagai masyarakat mesti berani bersuara karena kejahatan di ruang kesehatan bukan hanya urusan korban dan pelaku, melainkan persoalan bagi seluruh masyarakat.
Kepercayaan yang diberikan kepada profesi dokter adalah amanah yang besar. Ketika amanah itu dikhianati, maka seluruh elemen harus bergerak bersama.
Bergerak bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memastikan ruang kesehatan yang menjadi harapan kesembuhan itu kembali suci seperti seharusnya. (*)
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hasil Semifinal China Masters 2025: Fajar/Fikri Gagal ke Final, Seo/Kim Berhasil Ciptakan Revans |
![]() |
---|
Mahasiswa Terlibat dalam Gerakan Hijau, 10.000 Bibit Terkumpul di Pusat Edukasi Lingkungan |
![]() |
---|
Pengakuan Laurin Ulrich Belum Tutup Pintu jadi Calon Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia |
![]() |
---|
Meniru AS dalam Urusan Militer Sipil Adalah Berbahaya dan Keliru |
![]() |
---|
Respons KPAI terkait Kasus Keracunan MBG yang Terus Berulang: Hentikan Sementara untuk Evaluasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.