Tribunners / Citizen Journalism
Perang Nuklir Apakah Bakal Segera Terjadi di Asia dan Eropa?
Kim ong-un memimpin penembakan empat rudal balistik ke Laut Jepang sebagai simulasi serangan balasan nuklir oleh musuh-musuhnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pekan ini berkunjung ke Beijing, China, dan kemungkinan akan membahas manuver Korut ini dengan timpalannya di Tiongkok.
Korsel-Korut sejatinya masih berstatus perang, karena belum ada perjanjian pengakhiran perang apapun sejak pecahnya Perang Korea 1950-1953.
Perdamaian nyaris terwujud ketika Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump bertemu di garis perbatasan Korsel-Korut di Panmunjon atau di Zona Demiliterisasi (DMZ).
Sayang, upaya damai Korsel-Korut yang diinisiasi Presiden Korsel saat itu, Moon Jae-in surut saat Trump gagal melanjutkan jabatannya. Begitu pula Moon Jae-in.
Pengganti Moon, Presiden Yoon Suk-yeol, seorang politikus dan mantan Jaksa Agung Korsel yang dikenal bermusuhan dengan Pyongyang.
Perubahan ini membuka kans Kim Jong-un kembali bersikap keras lewat pertunjukan rudalnya yang sangat berbahaya.
Di antara kekuatan di dunia yang mampu mengerem Kim Jong-un, kemungkinan besar hanya Tiongkok.
Secara historis Perang Korea 1950-1953 menunjukkan pertempuran dua blok kekuatan. Korsel dibekingi AS, sementara Korut mendapat sokongan Beijing.
China saat itu secara militer dan ekonomi belum sekuat sekarang, namun memiliki Parai Komunis China yang sangat militant dan ideologis.
Di Eropa, ancaman perang nuklir diingatkan kembali oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov kaitannya dengan konflik di Ukraina.
Negara-negara barat yang dipimpin AS menurut Lavrov berpotensi menimbulkan perang besar antara negara-negara nuklir global karena sikap mereka yang secara terbuka bermusuhan terhadap Rusia.
Blok barat juga terus berupaya melemahkan perjanjian pengendalian senjata yang sudah ada. Di era Trump, Washington menarik diri dari sebuah perjanjian dengan Rusia.
Traktat Nuklir Jarak Menengah (INF) ditandatangani pemimpin Soviet dan AS pada 1987. AS saat itu dipimpin Presiden Ronald Reagen, sedang Presiden Mikhail Gorbachev memimpin Uni Soviet
Traktat ini melarang penggunaan peluru kendali berjangkauan 500 hingga 5.500 kilometer. Trump menarik diri karena menganggap Rusia melanggar traktat tersebut.
Lebih jauh Sergey Lavrov di Konferensi Nonproliferasi Moskow yang diselenggarakan Pusat Studi Energi dan Keamanan, mencatat dunia saat ini berada dalam keadaan krisis.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
perang nuklir
ujicoba senjata nuklir
Konflik Nuklir
Korea Selatan Lakukan Simulasi Serangan Nuklir
Perjanjian Nuklir START
Korea Utara Luncurkan Rudal Balistik
Korea Utara Uji Coba Rudal Balistik
'Geng Biden' Dituding Sedang Persiapkan Perang Nuklir dengan Rusia |
![]() |
---|
Gertak Barat, Vladimir Putin Gelar Simulasi Perang Nuklir, Diluncurkan Dari 3 Penjuru Rusia |
![]() |
---|
Iran Diisukan Tes Senjata Nuklir, Aktivitas Seismik di Semnan Dipertanyakan, Benarkah Gempa Alami? |
![]() |
---|
Doktrin Baru Rusia Bisa Gunakan Senjata Nuklir ke Ukraina |
![]() |
---|
Perang Nuklir : Eropa atau Asia Duluan? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.