Tribunners / Citizen Journalism
Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi
Sinyalemen pseudo demokrasi, juga terasa dalam praktik menyampaikan aspirasi yang merupakan salah satu aktivitas berdemokrasi itu sendiri
Editor:
Erik S
Oleh R.H.Handini Wulan, M.Ikom
Penulis merupakan mahasiswa program Doktor Ilmu Komunikasi, USAHID
TRIBUNNEWS.COM- Kleidoskop Pilpres sedari 2022 hingga awal 2024 ini tampak diwarnai oleh pertunjukan ‘teater hipokrit’ yang aktor-aktornya berasal dari berbagai kalangan, dari masyarakat biasa hingga Presiden. Seseorang mengatakan A di sini, ternyata di sana mengatakan B, atau ternyata menjalankan yang menjadi kebalikan dari A maupun B.
Memilukan, dulu bilang begitu, kini bilang begini. Ucap dan laku yang mencerminkan hipokrisi. Laku hipokrit seperti itu, seakan mendapatkan permakluman di panggung politik. Hipokrit sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan munafik atau orang yang suka berpura-pura.
Teater Hipokrit dijalankan oleh berbagai kalangan. Masyarakat menjadi saksi berkali-kali Jokowi membantah isu ‘tiga periode’ kepemimpinannya melalui media. Jokowi mengatakan isu itu hanya wacana dari masyarakat pendukungnya, dan bukan dari dirinya.
Baca juga: Singgung Sikap Jokowi, Hasto PDIP Sebut Demokrasi Indonesia di Masa Kritis
Dalam wawancara khusus di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang tayangannya menyebar di sosial media (sosmed), Jokowi mengatakan, banyak masyarakat yang menyuarakan hujatan kepada presiden, atau meminta ganti predisen, Jokowi mundur, dan lain-lain.
“Itu saya biarkan saja. Nah, boleh kan ada masyarakat yang berwacana ‘tiga peiode? Jika yang itu boleh berwacana seperi itu, yang ini boleh dong berwacana begini!” kira-kira seperti itu transkripsi dalam wawancara.
Jejak digital di internet menjelaskan, isu presiden tiga periode itu memang mengemuka di internal PDIP. Berbagai kalangan menyebut isu tiga periode itu memang keinginan mantan Gubernur Jakarta itu. Jadi bukan sekedar isu. Yang jelas, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri secara tegas menolak wacana presiden tiga periode karena bertentangan dengan konstitusi.
Isu tiga periode menguap, dan berganti dengan isu melanggengkan kekuasaan melalui putra tertua Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Isu ini juga sempat dibantah Jokowi, dan mengatakan itu tidak logis. Namun ternyata, pada bulan November 2023, Gibran resmi menjadi Calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Calon presiden Prabowo Subianto.
Budayawan Mohtar Lubis menyebut, salah satu ciri manusia Indonesia adalah bersifat hipokrit. Sungguh menyedihkan pemimpin ikut menjadi aktor dalam pertunjukan teater hipokrit.
Dalam berbagai ajaran agama dan tradisi, perbuatan hipokrit sangat tercela, dilarang dan diharamkan, sebab bisa merusak berbagai tatanan. Dalam ajaran Islam disebut, orang hipokrit atau munafik, menempati kerak neraka.
Baca juga: Almas Gugat Gibran Karena Tidak Ucapkan Terima Kasih Bisa Jadi Cawapres: Harus Ada Itikad Baik
Kita mesti menolak budaya hipokrit, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Bila budaya ini makin berkembang, wajah demokrasi yang diagungkan akan bernuansa pseudo (palsu) demokrasi. Bila demokrasi makin palsu dan keropos, maka Republik yang bersendi demokrasi Pancasila ini terancam sebesar-besarnya dari berbagai arah, luar dan dalam, horizontal dan vertikal.
Mahkamah Konstitusi
Riak-riak pseudo demokrasi itu bisa kita saksikan dalam drama Mahkamah Konstitusi yang memuluskan Gibran sebagai cawapres. Aturan usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, digugat oleh seorang mahasiswa dari Solo, dan bisa mengakal-bulusi aturan yang telah dirumuskan oleh ratusan orang penting di tanah air ini. Di antara mereka itu ada yang bergelar guru besar (profesor). Tragis, sekian pemikiran guru besar dapat digugat oleh seorang mahasiswa di mahkamah tertinggi pengadilan perkara konstitusi.
Lalu MK menggelar sidang untuk menindak hakim yang merupakan keluarga Jokowi. Sidang ini lagi-lagi hanya berupa ‘pertunjukan teater’ karena meski hakim dijatuhi hukuman, ia tidak dipecat dari MK, tidak diproses hukum. Keputusan yang ia buat tidak bisa dibatalkan. Seandainya putusan dapat dibatalkan, dan Gibran tidak maju menjadi Cawapres, mungkin peristiwa di MK itu tidak akan kentara sebagai teater hipokrit.
Begitulah pertunjukan teater, hal muskil bisa saja terjadi, dalam lakon Hamlet gubahan William Shakespeare, seorang adik merebut kekuasaan dari kakaknya dan menikahi istrinya. Namun ternyata, hal muskil itu bukan hanya berlaku di ranah teater yang sifatnya fiksi, justru di ranah fakta pun terjadi di tanah Nusantara ini. Amangkurat II misalnya (cucu Sultan Agung – Mataram), membawa lari salah satu selir ayahnya (Amangkurat I).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kementerian Hukum Sahkan Kepengurusan DPP PDI Perjuangan Periode 2025-2030 |
![]() |
---|
Relawan Jokowi 'Meradang' Budi Arie Dicopot: Jangan Arogan Prabowo, Ingat Kemenangan Pilpres 2024 |
![]() |
---|
Hukum Kuat, Demokrasi Sehat—Suara Rakyat, Pilar Negara |
![]() |
---|
Pidato Presiden, Retorika Dialogis atau Represi Simbolis? |
![]() |
---|
Profil Wibowo Prasetyo, Politisi PDIP Dilantik Jadi Anggota MPR RI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.