Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi

Sinyalemen pseudo demokrasi, juga terasa dalam praktik menyampaikan aspirasi yang merupakan salah satu aktivitas berdemokrasi itu sendiri

Editor: Erik S
Istimewa
Mahasiswa program Doktor Ilmu Komunikasi, USAHID, R.H.Handini Wulan 

Sinyalemen pseudo demokrasi, juga terasa dalam praktik menyampaikan aspirasi yang merupakan salah satu aktivitas berdemokrasi itu sendiri. Cukup banyak masyarakat yang telah tercerabut dari akar kebaikan dan adab kesantunan. Bila mencermati sosial media terutama kanal X (twitter), betapa pseudo demokrasi makin marak dan mewabah.

Baca juga: MK Kembali Tolak Uji Formil Syarat Batas Usia Minimal Capres-Cawapres di Putusan 90

Para pengguna sosmed bukan lagi saling mengeritik, bahkan sudah saling menghina dan menyudutkan. Arahnya bukan lagi horizontal antar-masyarakat, tapi sudah vertikal dari masyarakat ke pimpinan negara.

Akun X resmi Presiden Joko Widodo misalnya, selalu saja ditanggapi komentar dari ‘user’ dengan kritik lembut hingga kritik menggunakan bahasa yang sangat sarkastis. Apalagi jelang Pilpres 2024 ini, kampanye pencitraan di satu sisi versus kampanye hitam di sisi lain, memperlihatkan masyarakat Indonesia ternyata bisa ‘setega dan seprimitif’ itu dalam mengumbar bahasa yang kasar.

Suasana Panas

Pasca-pilpres 2024, suasana panas di ranah politik harus mendingin dan carut-marut persoalan dapat diurai dengan baik. Maka kita perlu duduk merenung, mencermati akar masalah, dan merumuskan solusi yang dapat dijalankan.

Pertama sekali teringat, ada yang sulit dibantah, bahwa keinginan untuk melanggengkan kenyamanan dan kenikmatan dalam berkuasa, bahasa kerennya politik dinasti, adalah naluri purba manusia sebagai mahluk primitif. Kekuasaan sudah ada dalam masyarakat primitif, dengan menunjuk siapa kuat dia paling berkuasa, dan siapa berkuasa, dia yang memimpin.

Pemimpin bisa diganti dengan cara direbut, kudeta, berkelahi atau perang sampai mati. Hingga jaman modern pemerintahan monarki di Tanah Jawa, kekuasaan Raja sebagiannya diganti dengan cara direbut atau dikudeta. Bahkan ada yang menafsir, Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 dari Bung Karno ke Pak Harto yang dokumennya tidak sampai sekarang, merupakan praktik coup de ‘etat (kudeta) di Indonesia.

Karena kekuasaan itu memang nyaman dan memabukkan, bisa kita lihat bagaimana presiden pertama berusaha melanggengkan kekuasaan melalui peraturan presiden seumur hidup. Lalu presiden kedua diam-diam mengamini praktik yang dilakukan pendahulunya, dan berkuasa lebih lama dari presiden pertama.

Jokowi juga tampaknya mabuk dengan cara dan peristiwa yang berbeda. Ia lima kali memenangkan pemilihan kekuasaan secara spektakuler, dari walikota, gubernur, hingga presiden, dan mungkin Jokowi adalah satu-satunya di muka bumi yang dapat meraihnya. Ia begitu percaya diri, terutama setelah 90 persen rakyat Solo memilih kembali dirinya sebagai walikota periode kedua.

Menurut akal waras dan rasa keadilan Pancasila yang berkonstitusi: aturan tak boleh dilabrak, tapi Jokowi tergelincir dan melakukan hal yang blunder, yaitu melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti.

Selain faktor kenyamanan dan kelezatan dalam berkuasa, tentu ada faktor-faktor yang menyulutnya untuk meng-estafetkan kekuasaan itu, misalnya ketakutan akan dibongkarnya hal yang bersifat ‘dosa’ selama berkuasa, termasuk menuntaskan program dan proyek yang sudah dijalankan.

Dalam wawancara, Jokowi menyebut perlunya menjalankan pemerintahan yang berkelanjutan. Program dan proyek Pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang menelan dana ratusan triliyun misalnya, sudah dijalankan dan pasti tidak selesai hingga akhir kekuasaan Jokowi.

Proyek paling mercusuar itu bisa mangkrak jika pemerintahan berikutnya tidak mau melanjutkan. Karena itu, Jokowi berusaha mencari capres dan cawapres yang benar-benar berkomitmen bisa melanjutan program dan proyek yang sudah dijalankan tapi belum rampung.

Seandainya Jokowi benar-benar berprestasi gemilang, sangat mungkin rakyat memilihnya lagi bila ia mencalonkan kembali seperti Grover Cleveland di Amerika sana, atau seperti Mahathir Mohamad di Malaysia yang kembali berkuasa setelah dijeda oleh dua PM lain yang tidak segemilang Mahathir. Ia berkuasa terhitung sejak 16 Juli 1981 – hingga 30 Oktober 2003, kemudian dijeda oleh PM Abdullah Ahmad Badawi dan PM Najib Razak. Mahathir kembali menjadi PM Malaysia pada 10 Mei 2018 hingga 24 Februari 2020.

Namun itu hanya andai-andai dan harus kita kesampingkan. Sekarang yang perlu difokuskan adalah bagaimana kita memilih presiden dengan pikiran dan intuisi yang jernih, dengan akal dan nurani yang sehat, dari tiga pasangan calon yang ada. Karena di tangan presiden dan wakil presiden terpilih akan menentukan arah bangsa dan nasib 278 juta jiwa rakyat Indonesia.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved