Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menyoal Penolakan Pengungsi Rohingya di Nanggroe Aceh Darussalam

Warga merasa kecewa karena sejumlah alasan terutama karena seolah Pemerintah Pusat memasrahkan nasib para pengungsi tersebut pada kemampuan mereka.

Editor: Dewi Agustina
SERAMBINEWS.COM/AULIA PRASETYA
Ratusan pengungsi rohingya terdampar di tepi pantai Kota Sabang, Selasa (21/11/2023) malam. Mengapa warga Aceh menolak kedatangan pengungsi Rohingya? 

Apabila Pemerintah Indonesia tidak segera merespon kondisi faktual ini, potensi konflik kemungkinan besar menjadi kenyataan.

Persoalan mendasar yang dirasakan masyarakat dan Pemerintah NAD adalah ketiadaan mekanisme penanganan pengungsi yang telah menimbulkan kebingungan dan pada saat bersamaan keberadaan mereka (Pengungsi Rohingya) mulai dirasa menganggu sehingga berujung pada penolakan.

Ketiadaan mekanisme ini antara lain disebabkan karena Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi dan menjadi negara pihak dari Konvensi 1951 tentang Pengungsi.

Alhasil dalam penanganan pengungsi, Indonesia tidak berwenang untuk menangani sepenuhnya.

Lantas apa penyebab Konvensi 1951 ini tak kunjung diratifikasi?

Kuat dugaan karena di dalam Konvensi tersebut terdapat ketentuan yang dinilai berat untuk dilaksanakan antara lain Pasal 17 mengenai hak untuk bekerja bagi para pengungsi dan Pasal 21 mengenai hak untuk mempunyai rumah bagi para pengungsi.

Sementara manfaat dari meratifikasi konvensi tersebut masih diperdebatkan.

Akan tetapi dalam rangka perlindungan hukum bagi pengungsi, Pemerintah Indonesia telah menerapkan tiga prinsip utama di dalam Konvensi Pengungsi 1951 yaitu tidak memulangkan (non refoulment), tidak mengusir (non exspulsion), tidak membedakan (non discrimination), dan juga tidak melakukan tindak pidana bagi para pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia.

Penanganan pengungsi di Indonesia saat ini menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang di dalamnya mengatur mengenai orang asing dan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

Keduanya menjadi dasar bagi pemerintah menjalankan berbagai upaya penanganan pengungsi yang meliputi aspek penemuan, pengaman, penampungan, pengawasan, dan kerja sama.

Hanya saja aturan ini menyebabkan pengungsi yang masuk ke Indonesia berpotensi diperlakukan layaknya imigran yang ditampung pada Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yaitu unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi.  

Etnis Rohingya telah mendiami Negara Bagian Rakhine Myanmar sejak abad ke-8, bahkan sebelum Inggris berkuasa di Negara Bagian Rakhine dan Burma antara tahun 1824 dan 1948.

Mereka memiliki kesultanan sendiri dan berhubungan dengan banyak kerajaan lain dengan damai.

Bangsa Rohingya bahkan ikut mendukung kemerdekaan Myanmar (dulunya Burma), beberapa di antaranya pernah menjadi menteri dan pejabat politik lainnya.

Sejak tahun 1962, penguasa militer mulai mendiskriminasi mereka dan menempatkan mereka bukan lagi sebagai suku asli yang sah di Myanmar, tetapi pendatang yang mesti melalui proses naturalisasi untuk bisa menjadi warga negara Myanmar.

Secara sistematis, genosida dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) mulai berjalan.

Puncaknya 2-3 tahun terakhir, dan ironinya justru di era berkuasanya Aung San Syu Ki yang dulu menjadi korban penindasan rejim militer dan karena perjuangannya dianugerahi Nobel Perdamaian. (ENS)

Penulis:
Eva Nila Sari
Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved