Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Polemik Keluarga Ba'alawi dan Kontribusi Kebangsaan Mereka

serpihan catatan sejarah cukup massif mengabarkan tentang peran keluarga Ba'alawi dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Bantuan Ingris ini dibutuhkan oleh Banten untuk melawan VOC-Belanda. Walaupun pada tahun 1636, Banten dan VOC memilih berdamai. Alhasil, persahabatan Banten dengan Ingris dan perdamaian Banten dengan VOC adalah masalah politik sesuai konteks zaman itu.

Sekiranya Sultan Abul Mafakhir harus disalahkan karena bekerjasama dengan Inggris, dan kemudian berdamai dengan VOC-Belanda, maka hal itu tidak harus dengan cara melupakan jasa-jasa leluhurnya. Demikian pula halnya dengan keluarga Ba’alawi, yang diciderai oleh oknum-oknum tidak harus melukai martabat keseluruhan keluarga.

Ternyata, model pengkhianatan seperti Sultan Haji terhadap Sultan Agung Tirtayasa juga melanda Kasultanan Mataram Islam. Amangkurat I putra Sultan Agung Hanyakrakusuma tidak saja berafiliasi dengan VOC tetapi juga membunuh saudaranya dan ulama-ulama muslim.

Walaupun tidak sampai membunuh ulama, Kasultanan Cirebon mengusir Kiai Muqayyim bin Kiai Abdul Hadi, Mufti Keraton. Tetapi, Keraton terlanjur mesra dengan Belanda, sehingga harus mengusir Kiai Muqayyim. Setelah keluar dari keraton, Kiai Muqayyim mendirikan Pesantren Buntet.

Dari sini kita tahu, banyak pengkhianatan dilakukan oleh darah biru dari klan tertentu. Tetapi kita harus jernih memetakan masalah. Termasuk juga polemik validitas nasab keluarga Ba’alawi harus dilokalisir, dilakukan pembatasan agar semata-mata masalah akademik, antara pembuktian ilmu nasab, ilmu sejarah, atau ilmu filologi.

Polemik ini tidak bisa ditarik melebar menjadi masalah rasisme, seperti yang dilakukan oleh Kiai Imad, yang menuduh tidak adanya peran kebangsaan keluarga Ba’alawi pada umumnya. Jika itu dilakukan maka banyak orang suci yang harus disalahkan karena perilaku kebejatan keturunan mereka. wallahu a’lam bis shawab.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan