Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika KPK Menjadi 'Anak Tiri' Jokowi

Pemberantasan korupsi mendukung investasi yang digalakkan Jokowi atau tidak?

Editor: Hasanudin Aco
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Apakah ia menganggap pemberantasan korupsi akan mengganggu investasi, sebagaimana pernah disampaikan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko yang kemudian diralat?

Saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi melontarkan sembilan program kerja yang kemudian dikenal sebagai Nawacita.

Cita ke-4 dari Nawacita adalah, "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.'

Apakah tidak disebutnya pemberantasan korupsi itu karena Jokowi merasa sudah berhasil pada periode pertamanya? Kita tak tahu pasti. Yang jelas, angka korupsi di Indonesia tak kunjung turun.

Lingkungan pemerintahan sendiri juga tak bersih-bersih amat. Idrus Marham, sebelumnya Menteri Sosial, dan Imam Nahrawi, sebelumnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, sudah menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagitu pun mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy, "sohib" Jokowi.

Apakah karena itu lalu pemberantasan korupsi dan KPK tidak disebut dalam pidato inagurasi Jokowi?

Tidak itu saja. Jokowi juga sama sekali tidak melibatkan KPK dalam penelusuran track records (rekam jejak) calon menteri kabinet yang kini sedang disusun Jokowi.

Memang, di dalam konstitusi tak ada keharusan Presiden melibatkan KPK, karena urusan penyusunan kabinet merupakan hak prerogratif Presiden.

Namun hal ini menimbulkan tanda tanya besar karena saat menyusun Kabinet Kerja I, Jokowi melibatkan KPK. Apakah KPK kini telah menjadi anak tiri Jokowi?

Mungkin bukan sekadar anak tiri, melainkan sudah menjadi anak durhaka, sehingga KPK harus "dikutuk" menjadi "batu".

"Kutukan" itu berwujud pemilihan pimpinan KPK dan revisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang kini menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang disahkan DPR pada 17 September 2019.

Meski banyak penolakan terhadap Firli Bahuri karena sosoknya yang kontroversial, Presiden Jokowi tetap mengirim nama Kapolda Sumatera Selatan ini ke DPR untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Akhirnya DPR pun meloloskan Firli yang juga mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) ini sebagai Ketua KPK.

Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli diduga bertemu dengan pihak yang sedang berurusan dengan KPK, yakni M Zainul Majdi saat pria yang akrab disapa Tuan Guru Bajang ini menjabat Gubernur NTB.

Presiden Jokowi juga menyetujui revisi UU KPK yang merupakan usul inisiatif DPR. Padahal revisi itu berpotensi melemahkan KPK. Betapa tidak?

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved