Tribunners / Citizen Journalism
Kontroversi Masa Jabatan dan JK
Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Dalam praktik bernegara, Indonesia sangat kaya pengalaman dengan memakai beragam konstitusi sebanyak lima kali yakni UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), UUD RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), UUDS 1959 (17 Agustus 1959-5 Juli 1959), kembali UUD 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999) dan UUDN RI 1945-hasil amandemen (19 Oktober 1999-Sampai sekarang).
Demikian halnya dalam praktik sistem pemerintahan dari sistem presidensial ke parlementer (1945-1959) dan kembali lagi ke sistem presidensial (1959-sekarang) demikian halnya bentuk negara dari bentuk kesatuan ke federal dan kembali lagi ke bentuk kesatuan hingga saat ini.
Dalam soal masa jabatan, dari Presiden seumur hidup hingga seumur hidup jadi Presiden, lalu mulai dipikir perlunya ada pembatasan masa jabatan Presiden.
Berkat tekanan dan tuntutan reformasi oleh mahasiswa yang menginginkan perubahan fundamental konsep bernegara yakni batasan periodisasi jabatan Presiden melalui amandemen UUD 1945.
Hasil amandemen UUDN RI 1945 pada Pasal 7 kemudian diubah dan akhirnya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Hanya menambahkan frasa “dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” dari bunyi Pasal 7 sebelum diamandemen.
Memahami Original Intent
Kalimat original intent (niat asli pembentuk UU/UUD) belakangan ini makin karib ditelinga publik setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 53/PUU-XV/2017 terkait judicial review (JR) Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyangkut ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.
Penafsiran dengan metode original intent atau dikenal pula dengan metode originalism telah diperkenalkan sejak 1938 oleh Howard Jay Graham di jurnal hukum Yale University, USA, dengan judul “The Conspiracy Theory” dan terus berkembang hingga saat ini sebagai metode penafsiran terhadap undang-undang dan konstitusi selain metode gramatikal, sosiologis, prudensial, doktrinal dan lain-lain.
Pasal 7 UUDN RI 1945 jika didekati dengan metode original intent (maksud pembentuk UUD) maka kita harus membaca risalah-risalah rapat pembentuk Undang-Undang Dasar pada masa itu baik berupa notulensi, pendapat awal/akhir fraksi, pendapat ahli dan akademisi, respons masyarakat, pendapat NGO, dan lain-lain.
Permohonan DPP Perindo ke MK terkait Pasal 169 huruf n dan penjelesannya memang sangat terkait dengan Pasal 7 UUDN RI 1945. Pasal 7 UUDN RI 1945 itulah yang diadopsi kedalam dua pasal UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yakni Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i.
Sayangnya, adopsi itu diubah dari sumber aslinya sehingga mengalami perubahan makna dan konteks.
Dari frasa “Presiden dan Wakil Presiden” menjadi “Presiden atau Wakil Presiden” yang berarti ada pemisahan antara Presiden dan Wakil Presiden, sementara mengatur syarat calon Presiden dan Wakil Presiden.
Jika membaca risalah perubahan UUDN RI 1945 (Sekjen MPR:2008) kekhususnya Pasal 7 UUDN RI 1945 memang semangatnya agar kekuasaan model Presiden Soeharto tidak berulang lagi. Suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) itulah sehingga dalam pembahasan masa jabatan hanya menyoal Presiden sementara Wakil Presiden jarang disebut bahkan tidak dipersoalkan.
Papat PAH III BP MPR yang membidangi perubahan Pasal 7 UUD 1945 yang dipimpin Harun Kamil (F-UG) yang berlangsung pada Oktober 1999 mengemuka beragam pendapat pembatasan masa jabatan Presiden yang hanya boleh dua kali (dua periode),
Fraksi Utusan Golongan (F-UG) misalnya, memaknainya dua kali masa jabatan secara berturut-turut, demikian halnya F-PDIP memberi pengertian dua kali masa jabatan bisa berturut-turut dan bisa berselang bahkan memberi ruang lebih dari dua kali masa jabatan dengan memberi masa jeda waktu tertentu dengan pertimbangan keadaan tertentu dan hak asasi manusia.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.