Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Mempermasalahkan Utang Negara

Perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani. 

Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan asset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.

Mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur juga kurang memahami dua hal.

Bahwa belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementrian Lembaga Pemerintah pusat, namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah.

Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp 573,7 Triliun (2015) meningkat menjadi Rp 766,2 Triliun (2018) sebagian (25 persen) diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua pemerintah daerah mematuhinya.

Yang kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal. Karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

Oleh karena itu pernyataan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya adalah kesimpulan yang salah.

Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik dan efisien dan bersih adalah jenis soft infrastruktur yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita.

Selain melihat neraca, dalam melihat utang perlu untuk juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian.

Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap produk domestik bruto, defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan (jauh) dibawah ketentuan UU Keuangan Negara.

Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp 167 triliun.

Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi. Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen.

Tahun 2018 ini target defisit pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB. Pada kurun 2005-2010, pada masa saya menjabat menteri keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47% ke 26%, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan.

Demikian juga dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer, pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, telah  menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable.

Buktinya pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp 142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp.125,6T, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp 121,5 triliun.

Untuk tahun 2018, pemerintah mentargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp 87,3 triliun.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved