Wisata Kampung dan Desa Adat yang Lestari: Menjelajahi Harmoni Alam Indonesia
Jelajahi sisi alam Indonesia melalui tradisi dan kearifan lokal tiga desa adat yang masih menjaga harmoni dengan alam.
Penulis:
Fransisca Andeska
Editor:
Content Writer
Terletak di lembah subur yang diapit hutan dan Sungai Ciwulan, desa ini dihuni oleh masyarakat Sunda yang hidup selaras dengan tradisi leluhur.
Nama "Kampung Naga" berasal dari kata "nagawir" yang berarti lembah curam, bukan dari makhluk mitologi naga. Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus menuruni lebih dari 400 anak tangga yang dikelilingi rimbunnya pepohonan hijau, memberikan nuansa perjalanan alam yang menenangkan.
Warga Kampung Naga tinggal di rumah panggung berbahan bambu, kayu, dan beratap daun nipah atau ijuk. Arsitekturnya seragam dan tidak menggunakan tembok maupun cat, menunjukkan kesederhanaan dan nilai kesetaraan antar warga.
Mereka hidup tanpa listrik dan menolak modernisasi berlebihan demi menjaga kelestarian lingkungan, termasuk kawasan hutan larangan yang tidak boleh diganggu.
Selain menjalani kehidupan bertani dan menganyam, masyarakat Kampung Naga juga rutin menggelar upacara adat dan memegang teguh budaya Islam yang dibaurkan dengan kepercayaan lokal.
Kisah sejarah kampung ini sempat hilang akibat peristiwa pembakaran arsip saat serangan DI/TII pada 1960-an, membuat warga menyebutnya sebagai masa pareum obor atau padamnya penerangan sejarah.
Kini, Kampung Naga terbuka bagi wisatawan yang ingin belajar tentang tradisi dan ekowisata budaya. Tiket masuk dibanderol sekitar Rp10.000 per orang, dan wisatawan diimbau menghormati adat yang berlaku, seperti larangan memotret di area tertentu.
Baca juga: Rasi, Beras Singkong Menu Pokok Warga Adat Cireundeu Cimahi Jabar
3. Desa Kemiren, Banyuwangi

Terletak di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Desa Kemiren merupakan desa adat yang menjadi pusat kebudayaan suku Osing, satu-satunya suku asli Banyuwangi.
Tak hanya menawarkan pesona alam tropis yang subur, desa ini juga menjadi representasi harmoni antara adat istiadat dan ekowisata khas Indonesia.
Nama "Kemiren" berasal dari banyaknya pohon kemiri di daerah tersebut. Dengan luas wilayah lebih dari 170 hektar, Desa Kemiren masuk dalam wilayah Ijen Geopark dan berjarak tidak jauh dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri.
Desa ini juga menjadi rumah bagi berbagai tradisi seperti Barong Ider Bumi, Tradisi Gedhogan, pertunjukan Gandrung, serta seni mocoan lontar Yusup.
Sebagai desa wisata berbasis adat, Kemiren telah mengembangkan berbagai paket edukatif, mulai dari menyaksikan rumah adat Osing, belajar menyeduh kopi tradisional, hingga mencicipi kuliner khas berbahan lokal seperti pecel pitik, tahu walik, dan uyah asem.
Pengunjung juga bisa menikmati suasana desa dengan menginap di homestay warga, yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 40 unit.
Menariknya, Desa Kemiren meraih juara 2 Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 dalam kategori Kelembagaan dan SDM. Desa ini dinilai berhasil memberdayakan masyarakat, terutama perempuan, dalam pelestarian budaya dan pengembangan wisata berkelanjutan.
Wisatawan bisa mengunjungi Pasar Kampoeng Osing, mencicipi masakan tradisional di Pesantogan Kemangi, hingga menyaksikan seni dan budaya masyarakat Osing secara langsung. Desa ini juga telah tersertifikasi sebagai Desa Wisata Berkelanjutan oleh Kemenparekraf sejak 2021.
Artikel ini merupakan bagian dari inisiatif Lokal Asri yang berfokus pada lokalisasi nilai-nilai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pelajari selengkapnya!
5 Etika Dasar Mendaki Gunung demi Menjaga Alam Indonesia |
![]() |
---|
Dari Tumpeng hingga Papeda, Inilah Kuliner Nusantara yang Lahir dari Alam Indonesia |
![]() |
---|
Aksi Bergerak Serentak Sukses Digelar di Kupang dan Malang |
![]() |
---|
Dari Lokal Asri untuk Alam Indonesia: Gerakan Kolektif dan Inisiatif Menjaga Keberlanjutan |
![]() |
---|
5 Gunung Berbalut Kisah Mistis di Balik Keindahan Alam Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.