'Aku Hanya Ingin Hidup Normal'
Stigma negatif yang berkembang di masyarakat menjadi satu di antara faktor penghambat pemenuhan hak anak bagi penderita HIV/AIDS
Saat mereka sakit pun, para pendamping mendampingi anak-anak hingga sembuh. Yunus mengaku, adanya BPJS Kesehatan sangat membantu dalam perawatan kesehatan anak dengan HIV/AIDS.
"Meski ada beberapa penyakit yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan, tetap kami rawat mereka sampai sembuh. Anehnya saat kami mau membayar, tahu-tahu sudah ada yang mbayarin," papar Yunus.
Selain itu, sebulan sekali, anak-anak ini juga mendapatkan pemeriksaan gratis dari Korem 074/Warastratama Surakarta.
Untuk urusan pendidikan, Yunus pun tak pernah lalai. Tercatat, ada 31 anak yang telah bersekolah mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA, Kejar Paket, hingga perguruan tinggi.
"Sisa lima anak yang belum sekolah karena usianya masih balita," kata dia. Ke-31 anak ini menempuh pendidikan di sejumlah sekolah di Surakarta.
"Anak-anak yang sudah besar, berangkat sekolah sendiri, naik bus. Kalau yang masih kecil-kecil, yang TK, ada relawan tugasnya antar jemput," tambahnya.
Pihak yayasan pun turut mengundang guru les untuk membantu anak-anak agar semakin mudah menyerap pelajaran sekolah.
"Misi kami dengan mendirikan yayasan ini adalah berusaha semaksimal mungkin memenuhi hak dasar anak seperti pendidikan dan kesehatan," kata dia.
Yunus menjelaskan, tak semua anak dengan HIV/AIDS akan diterima di rumah ini. Mereka harus mendapat rujukan dari pemerintah dalam hal ini dinas sosial setempat.
Kemudian, pihak yayasan akan melakukan asesmen. Jika 'layak' mereka akan dirawat oleh Yunus dkk.
"Dengan memasukkan anak-anak ini ke yayasan adalah satu-satunya alternatif paling akhir saat sudah lagi tak ada yang mau merawat mereka," jelasnya.
Oleh karena itu, Yunus berharap ke depan agar keberadaan anak-anak dengan HIV/AIDS ini dapat diterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar.
"Bagaimana pun mereka ini hanya korban. Andai bisa memilih, mereka tentu tidak pernah mau bersahabat dengan virus itu," tambahnya.
Data Anak dengan HIV/AIDS
Harapan senada juga disampaikan Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr Husnia Auliyatul Umma SpA MKes.
dr Husnia mengatakan, penularan HIV/AIDS tidak semudah virus atau penyakit menular lainnya.
"Jadi sangat tidak bermasalah bila kita bertetangga atau sekadar bersalaman dengan mereka," kata dr Husnia.

Menurut dr Husnia, berdasarkan data sepanjang 5 tahun terakhir, jumlah anak dengan HIV/AIDS yang menjalani perawatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta mencapai 137 anak.
Mereka datang dari berbagai daerah di Solo raya dan daerah lain di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan rentang usia paling kecil 2 tahun hingga 18 tahun.
Ia menjelaskan, penambahan jumlah kasus anak dengan HIV/AIDS tidak sebanyak orang dewasa. Di mana setiap tahun, ada penambahan sekira 9 kasus setiap tahun mulai 2020 hingga 2024
Sebagai bentuk deteksi lebih dini, rumah sakit melakukan pengecekan aktif terhadap anak-anak yang terindikasi mengidap HIV/AIDS.
"Biasanya, jika anak itu mengalami demam terlalu lama, ada keluhan sariawan berminggu-minggu, berat badan tidak naik meski sudah dilakukan intervensi, lalu ada infeksi kulit, kita akan lakukan tes," kata dia.
Hasilnya, pada tahun 2024 lalu, dari sekira 13 anak yang dicek, 11 di antaranya diketahui menderita HIV/AIDS.
Pelacakan itu, lanjut dr Husnia, terkadang berimplikasi terhadap orang tua yang sebelumnya tidak mengetahui jika dirinya juga telah mengidap HIV/AIDS.
"Ada beberapa orang tua yang tidak mengetahui jika dia menderita HIV/AIDS. Baru ketahuan, setelah pengecekan atau tes yang dilakukan pada anaknya," jelasnya.
Dokter asli Surakarta ini menjelaskan, perawatan yang diterapkan pada anak dengan HIV/AIDS sama seperti orang dewasa. Hanya berbeda pada dosis berdasarkan umur dan berat badan serta kondisi kesehatannya saat itu.
Nantinya, anak-anak dengan kondisi stabil hanya perlu menjalani pemeriksaan rutin di puskesmas atau fasilitas kesehatan (faskes) pertama.
"Nah, salah satu kendalanya, terkadang beberapa obat tidak tersedia di faskes pertama. Sehingga mereka mau tidak mau harus ke rumah sakit rujukan yang terkadang lokasinya jauh dari rumah."
"Saya berharap, pemerintah dapat menyediakan obat-obatan agar tata laksana pengobatan bisa berjalan dengan optimal. Bagaimana pun anak ini harus mengonsumsi obat secara terus-menerus, jadi jangan sampai habis," paparnya.
Ia juga mengungkapkan, pada kondisi anak dengan HIV/AIDS yang stabil tak ada bedanya dengan anak-anak pada umumnya. Mereka bisa menjadi anak-anak yang aktif sepanjang rutin meminum ARV untuk menjaga kadar virus dalam tubuh anak tetap rendah.
Tumbuh kembang mereka juga baik jika anak-anak ini mendapatkan nutrisi yang baik serta rutin melakukan pemeriksaan berkala untuk memantau perkembangan anak dan mengidentifikasi masalah kesehatan yang mungkin terjadi.
Meski demikian, dr Husnia tidak memungkiri ada beberapa anak dengan HIV/AIDS yang putus pengobatan. Salah satu alasan yang paling sering didengar Husnia adalah orang tua yang malu dengan kondisi sang anak tersebut.
"Biasanya, dari kami yaitu tim poli VCT yang akan turun langsung dan aktif mengajak mereka kembali berobat," kata dia.
Oleh karena itu, Husnia berpesan bagi orang tua atau keluarga yang memiliki anak dengan HIV/AIDS agar tidak berkecil hati.
"Terima saja takdir atas sakitnya si anak, berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Ketimbang larut dalam kesedihan, fokuslah pada kelebihan yang dimiliki anak, sumbangsih apa yang nantinya bisa diberikan. Sebab, virus ini sangat bisa dikendalikan," kata dia.
Lebih Cepat Lebih Baik
Di sisi lain, stigma terhadap pengidap HIV/AIDS masih menjadi masalah besar, terutama dalam hal pekerjaan dan pendidikan.
“Selama pihak lingkaran sosial tidak tahu, tidak masalah. Tapi kalau tahu, jadi masalah. Mereka bisa tersingkirkan, bahkan dikeluarkan dari pekerjaan,” ungkap dr. R. Satriyo Budhi S, SpPD,K-PTI,Mkes FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Sebelumnya, Pemerintah menargetkan Indonesia bebas HIV/AIDS pada 2030, dengan 90 persen populasi kunci mengetahui status HIV mereka.
Populasi kunci yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS meliputi pekerja seks komersial, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, pengguna narkoba suntik, dan narapidana.

“Misal ada 10 ribu populasi kunci, diharapkan 9 ribu tahu status HIV-nya. Artinya, mereka pernah tes,” jelas dr. Satriyo.
Dari yang tahu statusnya, 90 persen diharapkan mendapat pengobatan ARV (Antiretroviral) agar virus tidak menular.
Namun, hingga 2025, target 90-90-90 belum tercapai, meski pemerintah terus mendorong program "Three Zero": zero kematian, zero infeksi baru, dan zero stigma.
Di RSUD Dr. Moewardi, sekitar 500-600 pasien HIV datang setiap bulan, tetapi BPJS Kesehatan kini mengarahkan pasien stabil untuk berobat di PPK 1 (Puskesmas).
“Pasien HIV mencari tempat yang nyaman dan menjaga privasi. Kalau di puskesmas dekat rumah, takut ketahuan,” kata dr. Satriyo.
Kekhawatiran akan stigma membuat sebagian pasien enggan beralih ke puskesmas, berpotensi menyebabkan putus pengobatan.
“Kalau mereka tidak minum obat, virus bisa muncul kembali. HIV tidak bisa hilang, obat hanya menekannya,” tegasnya.
Pasien yang putus pengobatan berisiko menularkan HIV, sehingga pemerintah kini lebih agresif melacak mereka yang loss to follow-up.
“Mereka yang tidak diobati jadi ancaman. Kami bekerja sama dengan komunitas untuk mendampingi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS),” ujarnya.
Mayoritas pasien HIV di RSUD Moewardi adalah laki-laki dari kelompok usia produktif.
Faktor risiko utama meliputi hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik tidak steril.
“Banyak yang baru sadar saat sudah stadium 4, padahal kalau diketahui lebih awal, bisa dikendalikan,” kata dr. Satriyo.
Stadium 4 HIV ditandai gejala parah seperti sariawan kronis, TBC, radang otak, hingga penurunan kesadaran.
Pengobatan utama adalah ARV yang harus dikonsumsi seumur hidup, gratis namun bernilai jutaan rupiah per bulan jika dibeli mandiri.
“Karena gratis, kadang disepelekan. Padahal, ini obat penyelamat,” imbuhnya.
Selain ARV, pasien perlu dukungan keluarga, pola hidup sehat, dan olahraga untuk mencegah efek samping metabolik.
“Tes HIV harus dianggap sebagai pemeriksaan biasa. Semakin cepat diketahui, semakin besar peluang hidup normal,” tegas dr. Satriyo.
Menurut data VCT RSUD Dr. Moewardi, tercatat 197 kasus HIV pada tahun 2022, terdiri dari 137 laki-laki dan 60 perempuan.
Pada 2023, jumlah kasus menurun menjadi 151 dengan rincian 107 laki-laki dan 44 perempuan.
Tahun 2024 menunjukkan penurunan lagi menjadi total 125 kasus, yakni 92 laki-laki dan 33 perempuan.
Di awal 2025, terjadi fluktuasi dengan 465 kasus pada Februari.
Bulan Maret 2025 mencatat peningkatan menjadi 500 kasus.
Sedangkan April 2025 menunjukkan sedikit penurunan dengan 471 kasus.
Data ini mengindikasikan tren penurunan tahunan namun dengan fluktuasi bulanan yang signifikan di tahun 2025.
Perbandingan gender konsisten menunjukkan kasus pada laki-laki lebih dominan dibanding perempuan.
Lonjakan kasus di awal 2025 memerlukan kajian lebih mendalam untuk memahami faktor penyebabnya.
Secara global, UNICEF mencatat 2,38 juta anak hidup dengan HIV pada 2023, dengan 685 anak terinfeksi dan 250 meninggal setiap hari akibat AIDS.

Kisah Catur, Darma, dan Bakti hanyalah secercah gambaran dari ribuan Anak dengan HIV/AIDS yang berjuang menjalani hidup normal di tengah stigma yang lebih ganas daripada virus itu sendiri. Mereka belajar tertawa di antara pil ARV, bermain layang-layang di atas bayang-bayang prasangka, dan membuktikan bahwa selama rutin berobat, mereka bisa bersahabat dengan virus yang tak bisa hilang. Tantangan terbesar mereka bukanlah imun yang lemah, melainkan masyarakat yang masih enggan membuka mata: bahwa yang mereka butuhkan bukanlah dikucilkan, tetapi diberi kesempatan untuk hidup layaknya anak-anak lainnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.