'Aku Hanya Ingin Hidup Normal'
Stigma negatif yang berkembang di masyarakat menjadi satu di antara faktor penghambat pemenuhan hak anak bagi penderita HIV/AIDS
Kedua orang tua bayi sudah meninggal dan keluarganya tak mau merawat bayi malang itu. Yunus membawanya pulang ke rumah dan merawat bayi tersebut.
"Saat itu, saya berpikir belum ada program atau kegiatan yang secara spesifik menangani ADHA di Indonesia. Program untuk orang dewasa yang menderita HIV/AIDS banyak, tapi bagaimana dengan anak-anak? Sehingga ada gap yang cukup besar karena mereka belum tersentuh program sama sekali. Mereka ini hanya korban, tidak tahu apa-apa," kata Yunus saat ditemui Tribunnews.com.
Yunus yang aktif sebagai relawan lantas mengajak beberapa temannya untuk ikut mendampingi dan merawat ADHA. Dari hanya satu anak, Yunus dan teman-temannya merawat 4 anak.
Ia lantas mencari pengasuh agar perawatan dan pendampingan anak-anak ini berjalan lebih maksimal. Yunus juga memindahkan lokasi perawatan dari semula kamar kos ke sebuah rumah kontrakan.
Hingga akhirnya, pada tahun 2017, Yunus menempati sebuah bangunan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bakti, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres, Surakarta.
Namun per 7 Januari 2024, rumah singgah itu kembali harus pindah karena adanya penataan kawasan TMP.
Kini, Catur dkk menempati bangunan bekas sekolah yaitu SDN Belik di Jalan Suryo nomor 49, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres atau sekira 3 Km dari lokasi awal.
Di bangunan itu, 'anak-anak' Yunus menempati lima ruang kelas yang diubah menjadi ruangan layaknya tempat tinggal. Ada ruang administrasi; dapur dan ruang makan; ruang tidur untuk balita dan pengasuh; ruang tidur remaja putri; dan ruang tidur anak laki-laki.
Yunus berkata, anak-anak ini datang dari berbagai daerah di Indonesia, tak hanya dari Solo Raya. Paling jauh adalah Lampung, Baubau, hingga Timika.
Rentang usia anak-anak yang tinggal di sini pun beragam. Mulai dari usia balita hingga remaja berusia 19 tahun.
Mereka datang dari berbagai latar belakang. Mulai dari kehilangan keluarga, ada yang sengaja ditinggalkan, sengaja ditolak, bahkan 'dibuang' keluarga dan warga sekitarnya.
"Jika boleh saya bilang, Yayasan Lentera Surakarta merupakan satu-satunya di Indonesia yang menangani dan merawat anak-anak yatim-piatu dengan HIV-AIDS," klaim Yunus.
Selama 13 tahun lebih berdiri, sudah ratusan anak yang dirawat Yunus. Sebagian ada yang sudah dikembalikan ke orang tua, beberapa juga ada yang meninggal, dan yang lain masih bertahan di rumah tersebut.
Termasuk bayi berusia 18 bulan yang dulu dirawat Yunus, kini sudah tumbuh besar menjadi seorang remaja dan duduk di bangku SMP.
Yunus tak memungkiri adanya beragam penolakan saat merawat anak-anak ini. Terlebih stigma masyarakat terhadap anak dengan HIV/AIDS masih tergolong sangat tinggi hingga saat ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.