Selasa, 7 Oktober 2025

'Aku Hanya Ingin Hidup Normal'

Stigma negatif yang berkembang di masyarakat menjadi satu di antara faktor penghambat pemenuhan hak anak bagi penderita HIV/AIDS

|
Tribunnews.com/Chrysnha Pradipha
MENONTON KARTUN - Anak-anak penghuni Yayasan Lentera Surakarta tengah asyik menonton kartun di televisi Rumah Lentera Anak, tempat di mana anak penderita HIV/AIDS hidup bersama, difoto pada Rabu (7/5/2025) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Facundo Chrysnha P dan Sri Juliati

"Anak-anak dengan HIV/AIDS lahir tanpa memilih, namun dunia seolah menghukum mereka untuk sesuatu yang bukan dosa. HIV mungkin menyerang sistem imun, tapi hanya kemanusiaan kita yang bisa menyembuhkan atau malah 'membunuh' mereka."

TRIBUNNEWS.COM - Catur (bukan nama sebenarnya) asyik menarik senar layangan yang digulung dengan kaleng bekas susu. Padahal saat itu, jarum jam berada di tengah angka 1 dan 2.

Cuaca terik siang hari itu, seolah tak dihiraukannya. Berkali-kali layangan itu menyentuh tanah, berkali-kali pula ia berusaha untuk menerbangkannya.

Ada sekira 30 menit, bocah berusia 10 tahun berusaha membuat layangan berkelir merah itu terbang. Dari hanya sendirian, kini ia ditemani Darma (bukan nama sebenarnya). 

Kedua bocah berkepala plontos itu bersorak kegirangan saat layangan berhasil mengudara meski hanya sebentar di lingkungan mereka.

Anak-anak itu tahu, mereka ‘spesial’ dan memilih untuk tak keluar kawasan demi mengindari pandangan menyolot alias stigma yang selama ini berkembang di masyarakat.

“Aku tahu aku sakit (HIV/AIDS), tapi seperti teman-teman lainnya di sini, aku hanya ingin hidup normal termasuk di luar (lingkungan) sana,” kata Catur meluapkan emosi yang mungkin terpendam.

Saat Catur dan Darma bermain layangan di lapangan, lain halnya dengan Bakti (bukan nama sebenarnya). Bersama teman sebaya dan anak-anak dengan usia di bawahnya, Bakti menonton serial televisi animasi kartun di teras.

MAIN LAYANG-LAYANG - Anak penghuni Yayasan Lentera Surakarta bermain layang-layang di bawah panas terik matahari pada Rabu (7/5/2025).
MAIN LAYANG-LAYANG - Anak penghuni Yayasan Lentera Surakarta bermain layang-layang di bawah panas terik matahari pada Rabu (7/5/2025). (Tribunnews.com/Chrysnha Pradipha)

Mereka duduk berjejer di sebuah kursi panjang bekas. Adapula yang duduk beralas keramik. Celoteh dan tawa riang anak-anak ini terdengar saat adegan lucu terpampang di layar TV.

Tak jauh dari lokasi mereka menonton TV, tampak tumpukan kursi tak terpakai. Termasuk mesin cuci hingga sejumlah lemari besi yang baru saja dikeluarkan dari sebuah ruangan.

Ya, beginilah gambaran situasi dan kondisi sebuah bangunan bekas sekolah yang disulap menjadi rumah bagi 36 anak penderita HIV/AIDS (ADHA) pada Rabu (7/5/2025).

Di bawah Yayasan Lentera Surakarta, ke-36 anak ini dirawat di tengah perjuangan melawan penyakit yang ditularkan dalam proses kelahiran mereka ke dunia.

Mereka mendapatkan hak-hak selayaknya sebagai anak pada umumnya. Seperti hak pendidikan dan hak kesehatan. Bahkan dari yang semula bukan siapa-siapa, anak-anak ini telah menjadi sebuah keluarga meski tanpa rangkulan orang tua atau saudara.

Dua belas tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2014, Pendiri Yayasan Lentera Surakarta, Yunus Prasetyo mengaku tak pernah memiliki cita-cita mendirikan rumah bagi anak-anak ini. Namun, keberadaan bayi berusia 18 bulan yang menderita HIV/AIDS mengusik hati nuraninya. 

Kedua orang tua bayi sudah meninggal dan keluarganya tak mau merawat bayi malang itu. Yunus membawanya pulang ke rumah dan merawat bayi tersebut.

"Saat itu, saya berpikir belum ada program atau kegiatan yang secara spesifik menangani ADHA di Indonesia. Program untuk orang dewasa yang menderita HIV/AIDS banyak, tapi bagaimana dengan anak-anak? Sehingga ada gap yang cukup besar karena mereka belum tersentuh program sama sekali. Mereka ini hanya korban, tidak tahu apa-apa," kata Yunus saat ditemui Tribunnews.com.

Yunus yang aktif sebagai relawan lantas mengajak beberapa temannya untuk ikut mendampingi dan merawat ADHA. Dari hanya satu anak, Yunus dan teman-temannya merawat 4 anak.

Ia lantas mencari pengasuh agar perawatan dan pendampingan anak-anak ini berjalan lebih maksimal. Yunus juga memindahkan lokasi perawatan dari semula kamar kos ke sebuah rumah kontrakan.

Hingga akhirnya, pada tahun 2017, Yunus menempati sebuah bangunan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bakti, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres, Surakarta. 

Namun per 7 Januari 2024, rumah singgah itu kembali harus pindah karena adanya penataan kawasan TMP.

Kini, Catur dkk menempati bangunan bekas sekolah yaitu SDN Belik di Jalan Suryo nomor 49, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres atau sekira 3 Km dari lokasi awal.

Di bangunan itu, 'anak-anak' Yunus menempati lima ruang kelas yang diubah menjadi ruangan layaknya tempat tinggal. Ada ruang administrasi; dapur dan ruang makan; ruang tidur untuk balita dan pengasuh; ruang tidur remaja putri; dan ruang tidur anak laki-laki.

Yunus berkata, anak-anak ini datang dari berbagai daerah di Indonesia, tak hanya dari Solo Raya. Paling jauh adalah Lampung, Baubau, hingga Timika.

Rentang usia anak-anak yang tinggal di sini pun beragam. Mulai dari usia balita hingga remaja berusia 19 tahun.

Mereka datang dari berbagai latar belakang. Mulai dari kehilangan keluarga, ada yang sengaja ditinggalkan, sengaja ditolak, bahkan 'dibuang' keluarga dan warga sekitarnya.

"Jika boleh saya bilang, Yayasan Lentera Surakarta merupakan satu-satunya di Indonesia yang menangani dan merawat anak-anak yatim-piatu dengan HIV-AIDS," klaim Yunus.

Selama 13 tahun lebih berdiri, sudah ratusan anak yang dirawat Yunus. Sebagian ada yang sudah dikembalikan ke orang tua, beberapa juga ada yang meninggal, dan yang lain masih bertahan di rumah tersebut.

Termasuk bayi berusia 18 bulan yang dulu dirawat Yunus, kini sudah tumbuh besar menjadi seorang remaja dan duduk di bangku SMP.

Yunus tak memungkiri adanya beragam penolakan saat merawat anak-anak ini. Terlebih stigma masyarakat terhadap anak dengan HIV/AIDS masih tergolong sangat tinggi hingga saat ini.

Di awal merawat anak-anak, Yunus dan teman-temannya harus diam-diam dan belum berani terbuka. Sebab jika ketahuan, pasti tidak akan diperbolehkan warga sekitar.

Ia beberapa kali dipanggil dan harus menjelaskan aktivitas yayasan kepada warga. Yunus juga pernah didemo hingga barang-barang milik yayasan dikeluarkan.

Oleh karena itu, saat jumlah anak-anak yang dirawat bertambah, ia berusaha Yayasan Lentera Surakarta mendapatkan legalitas.

Setelah berusaha kurang lebih setahun, Yayasan Lentera Surakarta resmi berbadan hukum serta terdaftar di Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2014.

Penuhi Hak Anak

Yunus menjelaskan, model perawatan anak-anak dengan HIV/AIDS sama seperti keluarga pada umumnya. Mereka beraktivitas layaknya sebuah keluarga. Bahkan kepada Yunus, anak-anak ini memanggil 'ayah'.

Mereka bebas bermain, makan sepuasnya, menggunakan HP, hingga jalan-jalan seperti anak-anak lainnya. Tak ada aturan dan kegiatan khusus yang aneh-aneh. 

Mereka juga diajarkan kemandirian bahkan menjaga diri sendiri agar ketika keluar dari rumah, mereka tak lagi kesulitan menghadapi dunia luar. Diharapkan mereka juga bisa bermanfaat untuk orang lain.

Hanya saja, karena menderita HIV/AIDS, mereka harus rutin meminum obat antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan cara menghambat virus HIV untuk bereplikasi dan menghancurkan sel kekebalan tubuh. 

"Itu yang wajib kita pantau dan jangan sampai lengah. Bagaimana pun anak-anak dalam kondisi 'bersahabat' dengan virus, jadi harus rutin meminum ARV," kata dia.

RUMAH LENTERA - Pendiri Yayasan Lentera Surakarta, Yunus Prasetyo ditemui pada Rabu (7/5/2025)
RUMAH LENTERA - Pendiri Yayasan Lentera Surakarta, Yunus Prasetyo ditemui pada Rabu (7/5/2025) (Tribunnews.com/Chrysnha Pradipha)

Nah, di sinilah peran pengasuh dibutuhkan. Mereka akan diuji kesabaran dan ketelatenan saat anak-anak menolak minum obat.

"Ya, ada satu dua anak yang seperti itu (menolak minum obat, red), namanya juga anak-anak, biasanya karena mereka bosan. Kembali lagi pada keahlian pengasuh untuk membujuk anak-anak ini."

"Kalau anak-anak yang besar sudah paham harus minum obat setiap hari dan tidak boleh terlewat barang satu hari pun," kata Yunus.

Selain merawat, mereka juga mendampingi anak-anak melewati hari-hari mereka. Total ada enam pendamping di Yayasan Lentera Surakarta.

Tugas lainnya adalah mengantarkan anak-anak dengan HIV/AIDS memeriksakan kesehatan sebulan sekali ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Moewardi, Surakarta.

Namun terhitung sejak beberapa bulan yang lalu, cek kesehatan rutin tak lagi dilakukan di RSUD Moewardi melainkan di Puskesmas Pajang sesuai aturan dari BPJS Kesehatan.

Saat mereka sakit pun, para pendamping mendampingi anak-anak hingga sembuh. Yunus mengaku, adanya BPJS Kesehatan sangat membantu dalam perawatan kesehatan anak dengan HIV/AIDS.

"Meski ada beberapa penyakit yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan, tetap kami rawat mereka sampai sembuh. Anehnya saat kami mau membayar, tahu-tahu sudah ada yang mbayarin," papar Yunus.

Selain itu, sebulan sekali, anak-anak ini juga mendapatkan pemeriksaan gratis dari Korem 074/Warastratama Surakarta.

Untuk urusan pendidikan, Yunus pun tak pernah lalai. Tercatat, ada 31 anak yang telah bersekolah mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA, Kejar Paket, hingga perguruan tinggi.

"Sisa lima anak yang belum sekolah karena usianya masih balita," kata dia. Ke-31 anak ini menempuh pendidikan di sejumlah sekolah di Surakarta.

"Anak-anak yang sudah besar, berangkat sekolah sendiri, naik bus. Kalau yang masih kecil-kecil, yang TK, ada relawan tugasnya antar jemput," tambahnya.

Pihak yayasan pun turut mengundang guru les untuk membantu anak-anak agar semakin mudah menyerap pelajaran sekolah.

"Misi kami dengan mendirikan yayasan ini adalah berusaha semaksimal mungkin memenuhi hak dasar anak seperti pendidikan dan kesehatan," kata dia.

Yunus menjelaskan, tak semua anak dengan HIV/AIDS akan diterima di rumah ini. Mereka harus mendapat rujukan dari pemerintah dalam hal ini dinas sosial setempat.

Kemudian, pihak yayasan akan melakukan asesmen. Jika 'layak' mereka akan dirawat oleh Yunus dkk.

"Dengan memasukkan anak-anak ini ke yayasan adalah satu-satunya alternatif paling akhir saat sudah lagi tak ada yang mau merawat mereka," jelasnya.

Oleh karena itu, Yunus berharap ke depan agar keberadaan anak-anak dengan HIV/AIDS ini dapat diterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar.

"Bagaimana pun mereka ini hanya korban. Andai bisa memilih, mereka tentu tidak pernah mau bersahabat dengan virus itu," tambahnya.

Data Anak dengan HIV/AIDS

Harapan senada juga disampaikan Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr Husnia Auliyatul Umma SpA MKes.

dr Husnia mengatakan, penularan HIV/AIDS tidak semudah virus atau penyakit menular lainnya.

"Jadi sangat tidak bermasalah bila kita bertetangga atau sekadar bersalaman dengan mereka," kata dr Husnia.

HIV ANAK - Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr Husnia Auliyatul Umma SpA MKes ditemui pada Rabu (7/5/2025)
HIV ANAK - Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr Husnia Auliyatul Umma SpA MKes ditemui pada Rabu (7/5/2025) (Tribunnews.com/Chrysnha Pradipha)

Menurut dr Husnia, berdasarkan data sepanjang 5 tahun terakhir, jumlah anak dengan HIV/AIDS yang menjalani perawatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta mencapai 137 anak.

Mereka datang dari berbagai daerah di Solo raya dan daerah lain di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan rentang usia paling kecil 2 tahun hingga 18 tahun.

Ia menjelaskan, penambahan jumlah kasus anak dengan HIV/AIDS tidak sebanyak orang dewasa. Di mana setiap tahun, ada penambahan sekira 9 kasus setiap tahun mulai 2020 hingga 2024

Sebagai bentuk deteksi lebih dini,  rumah sakit melakukan pengecekan aktif terhadap anak-anak yang terindikasi mengidap HIV/AIDS.

"Biasanya, jika anak itu mengalami demam terlalu lama, ada keluhan sariawan berminggu-minggu, berat badan tidak naik meski sudah dilakukan intervensi, lalu ada infeksi kulit, kita akan lakukan tes," kata dia.

Hasilnya, pada tahun 2024 lalu, dari sekira 13 anak yang dicek, 11 di antaranya diketahui menderita HIV/AIDS.

Pelacakan itu, lanjut dr Husnia, terkadang berimplikasi terhadap orang tua yang sebelumnya tidak mengetahui jika dirinya juga telah mengidap HIV/AIDS.

"Ada beberapa orang tua yang tidak mengetahui jika dia menderita HIV/AIDS. Baru ketahuan, setelah pengecekan atau tes yang dilakukan pada anaknya," jelasnya.

Dokter asli Surakarta ini menjelaskan, perawatan yang diterapkan pada anak dengan HIV/AIDS sama seperti orang dewasa. Hanya berbeda pada dosis berdasarkan umur dan berat badan serta kondisi kesehatannya saat itu.

Nantinya, anak-anak dengan kondisi stabil hanya perlu menjalani pemeriksaan rutin di puskesmas atau fasilitas kesehatan (faskes) pertama.

"Nah, salah satu kendalanya, terkadang beberapa obat tidak tersedia di faskes pertama. Sehingga mereka mau tidak mau harus ke rumah sakit rujukan yang terkadang lokasinya jauh dari rumah."

"Saya berharap, pemerintah dapat menyediakan obat-obatan agar tata laksana pengobatan bisa berjalan dengan optimal. Bagaimana pun anak ini harus mengonsumsi obat secara terus-menerus, jadi jangan sampai habis," paparnya.

Ia juga mengungkapkan, pada kondisi anak dengan HIV/AIDS yang stabil tak ada bedanya dengan anak-anak pada umumnya. Mereka bisa menjadi anak-anak yang aktif sepanjang rutin meminum ARV untuk menjaga kadar virus dalam tubuh anak tetap rendah.

Tumbuh kembang mereka juga baik jika anak-anak ini mendapatkan nutrisi yang baik serta rutin melakukan pemeriksaan berkala untuk memantau perkembangan anak dan mengidentifikasi masalah kesehatan yang mungkin terjadi. 

Meski demikian, dr Husnia tidak memungkiri ada beberapa anak dengan HIV/AIDS yang putus pengobatan. Salah satu alasan yang paling sering didengar Husnia adalah orang tua yang malu dengan kondisi sang anak tersebut.

"Biasanya, dari kami yaitu tim poli VCT yang akan turun langsung dan aktif mengajak mereka kembali berobat," kata dia.

Oleh karena itu, Husnia berpesan bagi orang tua atau keluarga yang memiliki anak dengan HIV/AIDS agar tidak berkecil hati.

"Terima saja takdir atas sakitnya si anak, berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Ketimbang larut dalam kesedihan, fokuslah pada kelebihan yang dimiliki anak, sumbangsih apa yang nantinya bisa diberikan. Sebab, virus ini sangat bisa dikendalikan," kata dia.

Lebih Cepat Lebih Baik

Di sisi lain, stigma terhadap pengidap HIV/AIDS masih menjadi masalah besar, terutama dalam hal pekerjaan dan pendidikan.

“Selama pihak lingkaran sosial tidak tahu, tidak masalah. Tapi kalau tahu, jadi masalah. Mereka bisa tersingkirkan, bahkan dikeluarkan dari pekerjaan,” ungkap dr. R. Satriyo Budhi S, SpPD,K-PTI,Mkes FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Sebelumnya, Pemerintah menargetkan Indonesia bebas HIV/AIDS pada 2030, dengan 90 persen populasi kunci mengetahui status HIV mereka.

Populasi kunci yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS meliputi pekerja seks komersial, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, pengguna narkoba suntik, dan narapidana.

SEMBUHKAN HIV - dr. R. Satriyo Budhi S, SpPD,K-PTI,Mkes FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi RSUD Dr. Moewardi Surakarta diwawancarai pada Rabu (7/5/2025)
SEMBUHKAN HIV - dr. R. Satriyo Budhi S, SpPD,K-PTI,Mkes FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi RSUD Dr. Moewardi Surakarta diwawancarai pada Rabu (7/5/2025) (Tribunnews.com/Sri Juliati)

“Misal ada 10 ribu populasi kunci, diharapkan 9 ribu tahu status HIV-nya. Artinya, mereka pernah tes,” jelas dr. Satriyo.

Dari yang tahu statusnya, 90 persen diharapkan mendapat pengobatan ARV (Antiretroviral) agar virus tidak menular.

Namun, hingga 2025, target 90-90-90 belum tercapai, meski pemerintah terus mendorong program "Three Zero": zero kematian, zero infeksi baru, dan zero stigma.

Di RSUD Dr. Moewardi, sekitar 500-600 pasien HIV datang setiap bulan, tetapi BPJS Kesehatan kini mengarahkan pasien stabil untuk berobat di PPK 1 (Puskesmas).

“Pasien HIV mencari tempat yang nyaman dan menjaga privasi. Kalau di puskesmas dekat rumah, takut ketahuan,” kata dr. Satriyo.

Kekhawatiran akan stigma membuat sebagian pasien enggan beralih ke puskesmas, berpotensi menyebabkan putus pengobatan.

“Kalau mereka tidak minum obat, virus bisa muncul kembali. HIV tidak bisa hilang, obat hanya menekannya,” tegasnya.

Pasien yang putus pengobatan berisiko menularkan HIV, sehingga pemerintah kini lebih agresif melacak mereka yang loss to follow-up.

“Mereka yang tidak diobati jadi ancaman. Kami bekerja sama dengan komunitas untuk mendampingi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS),” ujarnya.

Mayoritas pasien HIV di RSUD Moewardi adalah laki-laki dari kelompok usia produktif.

Faktor risiko utama meliputi hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik tidak steril.

“Banyak yang baru sadar saat sudah stadium 4, padahal kalau diketahui lebih awal, bisa dikendalikan,” kata dr. Satriyo.

Stadium 4 HIV ditandai gejala parah seperti sariawan kronis, TBC, radang otak, hingga penurunan kesadaran.

Pengobatan utama adalah ARV yang harus dikonsumsi seumur hidup, gratis namun bernilai jutaan rupiah per bulan jika dibeli mandiri.

“Karena gratis, kadang disepelekan. Padahal, ini obat penyelamat,” imbuhnya.

Selain ARV, pasien perlu dukungan keluarga, pola hidup sehat, dan olahraga untuk mencegah efek samping metabolik.

“Tes HIV harus dianggap sebagai pemeriksaan biasa. Semakin cepat diketahui, semakin besar peluang hidup normal,” tegas dr. Satriyo.

Menurut data VCT RSUD Dr. Moewardi, tercatat 197 kasus HIV pada tahun 2022, terdiri dari 137 laki-laki dan 60 perempuan.

Pada 2023, jumlah kasus menurun menjadi 151 dengan rincian 107 laki-laki dan 44 perempuan.

Tahun 2024 menunjukkan penurunan lagi menjadi total 125 kasus, yakni 92 laki-laki dan 33 perempuan.

Di awal 2025, terjadi fluktuasi dengan 465 kasus pada Februari.

Bulan Maret 2025 mencatat peningkatan menjadi 500 kasus.

Sedangkan April 2025 menunjukkan sedikit penurunan dengan 471 kasus.

Data ini mengindikasikan tren penurunan tahunan namun dengan fluktuasi bulanan yang signifikan di tahun 2025.

Perbandingan gender konsisten menunjukkan kasus pada laki-laki lebih dominan dibanding perempuan.

Lonjakan kasus di awal 2025 memerlukan kajian lebih mendalam untuk memahami faktor penyebabnya.

Secara global, UNICEF mencatat 2,38 juta anak hidup dengan HIV pada 2023, dengan 685 anak terinfeksi dan 250 meninggal setiap hari akibat AIDS.

Visualisasi infografis HIV AIDS yang terekam RSUD Dr Moewardi Surakarta
GRAFIS HIV - Visualisasi infografis HIV AIDS yang terekam RSUD Dr Moewardi Surakarta, sumber data VCT RSUD Dr. Moewardi, Surakarta (Grafis Tribunnews.com)

Kisah Catur, Darma, dan Bakti hanyalah secercah gambaran dari ribuan Anak dengan HIV/AIDS yang berjuang menjalani hidup normal di tengah stigma yang lebih ganas daripada virus itu sendiri. Mereka belajar tertawa di antara pil ARV, bermain layang-layang di atas bayang-bayang prasangka, dan membuktikan bahwa selama rutin berobat, mereka bisa bersahabat dengan virus yang tak bisa hilang. Tantangan terbesar mereka bukanlah imun yang lemah, melainkan masyarakat yang masih enggan membuka mata: bahwa yang mereka butuhkan bukanlah dikucilkan, tetapi diberi kesempatan untuk hidup layaknya anak-anak lainnya.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved