Alasan Ahmad Luthfi Tak Sepakat Kebijakan Dedi Mulyadi Bawa Siswa Nakal ke Barak Militer
Gubernur Jateng Ahmad Luthfi tak sependapat dengan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang ingin melakukan pembinaan terhadap siswa nakal di barak militer.
TRIBUNNEWS.COM - Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi tak sependapat dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin melakukan pembinaan terhadap siswa nakal di barak militer.
Menurut Ahmad Luthfi sudah ada aturan hukum untuk menangani siswa yang melakukan pelanggaran atau bermasalah.
Untuk kategori anak yang masih di bawah umur akan dikembalikan kepada orang tua.
Sementara untuk anak sudah cakap umur akan ditindak sesuai hukum.
"Kalau anak di bawah umur, kita kembalikan ke orangtuanya. Kalau anak-anak sudah di atas umur, melakukan tindak pidananya, kita sidik tuntas terkait dengan tindak pidananya," kata Ahmad Luthfi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Ia menekankan bahwa tidak perlu ada kebijakan tambahan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
"Kan begitu. Ada aturan hukumnya, kenapa harus ngarang-ngarang gitu. Enggak usah," ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyebut peran orangtua dan guru tetap menjadi bagian utama dalam pembinaan siswa bermasalah.
"Sesuai ketentuan saja. Kalau di bawah umur, masih ada kewenangan. Kalau di sekolah masih ada, namanya guru, kembalikan orang tuanya," sambung Luthfi.
Diketahui, kebijakan Dedi Mulyadi itu juga ditentang oleh Amnesty Internasional Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, memandang pelibatan personel TNI untuk melakukan pembinaan siswa bermasalah dengan cara militer adalah cara yang tidak tepat.
Baca juga: Dikawal Dedi Mulyadi, Siswa Jalani Pendidikan Militer di Barak TNI Purwakarta, Ini Penampakannya
Displin militer, menurutnya tidak cocok untuk pertumbuhan anak karena metode militer sering kali melibatkan disiplin keras dan hukuman fisik yang tidak sesuai untuk anak-anak yang masih dalam proses perkembangan dan pertumbuhan.
Usman Hamid memandang, anak-anak justru membutuhkan pendekatan yang mendukung perkembangan emosi, sosial, dan kognitif mereka.
"Pendekatan itu membawa potensi terjadinya pelanggaran hak-hak asasi anak. Pembinaan dengan cara militer dapat berpotensi melanggar hak-hak anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan fisik dan psikologis, serta hak untuk berkembang dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung," kata Usman, Rabu (30/4/2025).
Menurutnya, pendekatan yang dibutuhkan untuk menangani siswa bermasalah adalah pendekatan yang lebih holistik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.