BPRA Diusulkan di Bawah Presiden Agar Mempercepat Distribusi Tanah untuk Rakyat
Ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Dewan Pembina GREAT Institute Moh Jumhur Hidayat menyoroti mengenai ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia.
Menurut Jumhur, ketimpangan kepemilikan tanah parah sekali. Keterangan tersebut disampaikan Jumhur dalam Forum Group Discussion (FGD) Pertanahan yang diselenggarakan Great Institute Rabu (1/10/2025), di Jakarta Selatan.
Turut hadir sebagai narasumber pada FGD tersebut Dr. Yagus Suyadi dari Bank Tanah, Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI, Dr Agung Indrajit dari Otorita IKN, Prof. Budi Mulyanto dari IPB, Dr. Lilis Mulyani dari BRIN, Dewi Kartika dari KPA, Arwin Lubis yang merupakan aktivis pertanahan sejak tahun 1980-an, serta peneliti Great Institute, Ir Hendry Harmen.
"Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata Jumhur.
Baca juga: Bank Tanah Siapkan 1.550 Hektare Lahan Reforma Agraria di Sulawesi Tengah
Ia menambahkan, forum ini terbuka, egaliter, dan bebas, dengan semangat merdeka dalam riset dan dialog.
“Mumpung presiden kita sekarang, Pak Prabowo Subianto, presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” kata dia.
Sementara Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI mengatakan ketimpangan kepemilikan tanah, menurut Ahmad Irawan, disebabkan karena peraturan dan distribusi kepemilikan berantakan.
“Semua ini ekses dari hak negara untuk menguasai tanah. Peraturan dibuat sepihak, dan ATR/BPN pun tidak punya otoritas penuh. Ada tanah yang masih masuk kawasan hutan, padahal masyarakat sudah menempati jauh sebelum republik ini berdiri,” kata Ahmad.
Ia menekankan, ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri.
“Kalau korporasi butuh tanah, pemerintah selalu memberi jalan. Tapi kalau rakyat, selalu serba sulit,” kata dia.
Lebih jauh, ia menegaskan, hingga 21 April 2025 capaian Reforma Agraria pemerintah masih nol.
“Yang paling penting adalah kepastian hukum,” ujarnya.
Dia juga menegaskan soal pembentukan pansus Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) harus dibuat besar, yang melibatkan berbagai Komisi di DPR RI. Ahmad melihat BPRA dapat menyelesaikan tumpang tindih berbagai peraturan mengenai agraria. Ia meyakini bahwa BPRA dapat terimplementasi secepatnya.
Bank Tanah
Pada kesempatan yang sama, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mempertanyakan mengenai Bank Tanah.
Menurut dia, Bank Tanah adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
"Ia lahir dari Ciptaker, dan mencampuradukkan Reforma Agraria dengan urusan pengadaan tanah untuk korporasi besar,” beber Dewi.
Menurut Dewi, Reforma Agraria bukan sekadar redistribusi administratif, melainkan perubahan struktur kepemilikan tanah. Ia menyinggung program food estate sebagai politik pangan yang salah arah: timpang, penuh ketidakadilan.
“Padahal Reforma Agraria justru punya hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan, tanah tidak boleh jadi alat penindasan manusia terhadap manusia,” kata Dewi.
Dr. Agung Indrajit dari Otorita IKN kemudian memaparkan perspektif teknologi. Ia merujuk pada Land Administration Domain Model (LADM) sebagai pendekatan digital untuk mengurangi asimetri informasi dalam pertanahan.
“Tanah tidak sekadar soal administrasi atau regulasi, tapi juga data yang harus transparan, interoperable, dan bisa mengurangi permainan informasi,” ujarnya.
Aktivis pertanahan Arwin Lubis menyampaikan gagasan strategis terkait rencana pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA).
Ia mengingatkan, UUPA 1960 menegaskan tanah bukan milik raja atau negara, melainkan rakyat.
“Negara tidak bisa menjual tanah. Negara hanya boleh mengambil bea atas layanan keagrariaan,” katanya.
Ia mengusulkan agar BPRA dibentuk langsung di bawah Presiden dengan struktur ramping, tapi memiliki satu deputi khusus yaitu Deputy Tafsir Tegas. Tujuannya, agar tak ada lagi tafsir ganda antara ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan lembaga lain yang membuat pelaksanaan reforma agraria berlarut-larut.
“Kita sudah terlalu lama menunggu. Ada tanah-tanah eks HGU yang habis sejak puluhan tahun lalu, tapi distribusinya tak terdengar,” ujarnya.
GREAT Institute adalah lembaga pemikiran (think tank) yang didirikan mendukung pemikiran progresif revolusioner Presiden Prabowo Subianto.
GREAT yang merupakan singkatan dari Global Research on Economics, Advance Technology, and Politics, diluncurkan di Jakarta Selatan pada Selasa (3/6/2025).
Lembaga ini digagas Dr Syahganda Nainggolan, yang menjabat ketua Dewan Direktur, bersama sejumlah tokoh nasional, termasuk Moh Jumhur Hidayat sebagai Ketua Dewan Pembina.
Pagi Ini Presiden Prabowo akan Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya |
![]() |
---|
Punya Kartu Sakti Begini Nasib Copet yang Nekat Beraksi saat Kunjungan Presiden Prabowo di Cileungsi |
![]() |
---|
Langkah Pertama Dio dan Sahal: Gen Z Memulai Perjalanan Perbankan Berkah dengan BCA Syariah |
![]() |
---|
Purbaya: Ada yang Gunakan Isu Deposito Valas untuk Goyang Rupiah |
![]() |
---|
Punya Mimpi Jadi Pebisnis? Yuk Daftar GenKBiz 2025 dan Wujudkan Bersama KB Bank |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.