Jumat, 3 Oktober 2025

Program Makan Bergizi Gratis

Realitas MBG di Mata Guru Pinggiran Kota: Penyelamat Anak-Anak yang Tak Punya Uang Jajan

Mayoritas anak didiknya berasal dari keluarga menengah ke bawah, yang kesehariannya jauh dari kemewahan

|
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dodi Esvandi
Surya/Purwanto
SALURKAN MBG - Sejumlah siswa menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) usai dibagikan Lantamal V di SMP N 19 Kota Malang, Jawa Timur, Senin (19/5/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — DW, seorang guru perempuan yang mengajar di sebuah SD Negeri di pinggiran Jakarta, menyaksikan langsung betapa program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi penopang penting bagi siswanya. 

Mayoritas anak didiknya berasal dari keluarga menengah ke bawah, yang kesehariannya jauh dari kemewahan, bahkan sekadar makanan bergizi.

Di sekolah itu, DW melihat MBG bukan sekadar program pemerintah, melainkan bentuk nyata kepedulian terhadap anak-anak yang kerap datang ke sekolah dengan perut kosong. 
Menu yang disajikan tak hanya mengenyangkan, tapi juga membantu memenuhi kebutuhan nutrisi harian mereka.

"Kalau yang bener-bener ngebutuhin tuh bagus banget sebenernya ya MBG-nya tuh maksudnya kepake banget, sampai mereka ada yang kalau nggak habis tuh mereka bawa pulang buat di rumah, buat adiknya buat siapanya gitu," ujar DW kepada Tribunnews, Selasa (30/9/2025).

DW bercerita, tak sedikit siswa yang tanpa rasa malu meminta tambahan nasi atau lauk untuk dibawa pulang. 

Bagi mereka, makanan dari MBG bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk anggota keluarga di rumah yang mungkin belum makan.

Baca juga: MBG Dipelesetkan Jadi Makan Beracun Gratis, DPR: Korban Nyata, Bukan Lelucon

Program MBG, menurut DW, lebih terasa manfaatnya di sekolah-sekolah pinggiran kota dibandingkan di pusat metropolitan. 

Ia membandingkan dengan pengalamannya saat bersekolah di tengah kota, di mana hampir tak ada teman yang mengalami kesulitan ekonomi.

"Bahkan saya punya anak murid yang sampai 'Miss aku boleh minta nasinya lagi miss, aku boleh minta lauknya lagi nggak' gitu," katanya, menirukan permintaan sang anak.

DW pun tak jarang merogoh kocek pribadi untuk membelikan jajanan bagi murid-muridnya. 
Ia tahu betul latar belakang keluarga mereka—ada yang ayahnya tukang ojek, ibunya bekerja sendiri membesarkan anak-anak, hingga orang tua yang menjadi petugas PPSU.

"Di SD sini itu saya sampai beberapa kali jajanin anak murid. Karena mereka nggak punya duit, pas saya cari tahu keluarganya ya memang bapaknya tukang ojek, atau ibunya single fighter, atau ibunya cuma pembantu, ada lagi yang cuma PPSU dan anaknya banyak, ada yang masih tinggal di pinggir kali," ungkap DW.

Ia menambahkan, bahkan ketika ada sisa makanan dari temannya, beberapa anak dengan senang hati membawanya pulang untuk dibagi di rumah.

"Bahkan sampai itu tadi, ketika ada sisa (MBG) dari temennya malah mereka mau bawa pulang buat di rumah," tambahnya.

Meski DW menilai MBG sangat cocok untuk siswa dari keluarga menengah ke bawah, ia menekankan pentingnya menjaga kualitas makanan yang disajikan. 

Menurutnya, makanan sehat dan porsi gizi yang tepat jauh lebih penting daripada sekadar memenuhi standar menu 4 sehat 5 sempurna.

"Cuma maksud saya, mungkin akan lebih bermanfaat bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, tapi jangan jadi nggak sesuai kualitas makanan sehat. Tetap harus dilihat makanan sehatnya dan porsi gizinya gimana," tutupnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved