Senin, 6 Oktober 2025

Pemerintah Diminta Benahi Sistem Riset Nasional untuk Realisasikan Indonesia Emas 2045

Dia menegaskan negara-negara besar di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan kini China, bisa menjadi kekuatan global

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Istimewa
GEDUNG BRIN - Anggaran riset nasional justru mengalami pemangkasan tajam setelah dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada 2017, anggaran riset masih sekitar Rp24,9 triliun atau 0,2 persen dari PDB, namun turun drastis menjadi Rp3,1 triliun pada 2022 dan hanya Rp2,2 triliun pada 2023 atau 0,01 persen PDB.   

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 atau yang dikenal dengan visi “Indonesia Emas” dinilai sulit terwujud jika sistem riset nasional masih carut-marut.

Hal itu dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Y Paonganan.

Dia mengatakan, Kemandirian sains dan teknologi yang seharusnya menjadi pondasi kemajuan bangsa justru masih lemah karena tidak adanya visi kuat dari pemerintah dalam membangun riset.

“Revolusi industri adalah kebangkitan dunia menjadi negara maju, dan itu tidak datang tiba-tiba tapi melalui serangkaian riset panjang. Perkembangan telekomunikasi, energi, hingga teknologi digital semuanya diawali dari riset. Intinya semua kemajuan dunia lahir dari riset,” kata Y Paonganan dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (1/10/2025).

Dia menegaskan negara-negara besar di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan kini China, bisa menjadi kekuatan global karena sejak awal membangun sistem riset nasional yang solid.

“Sementara di Indonesia, riset dan pengembangan ilmu pengetahuan kerap hanya berhenti pada retorika,” tegasnya.

Baca juga: Ketua ISNU: Negara Maju Butuh APK Pendidikan Tinggi di Atas 60 Persen

Data menunjukkan, anggaran riset nasional justru mengalami pemangkasan tajam setelah dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Pada 2017, anggaran riset masih sekitar Rp24,9 triliun atau 0,2 persen dari PDB, namun turun drastis menjadi Rp3,1 triliun pada 2022 dan hanya Rp2,2 triliun pada 2023 atau 0,01 persen PDB.

Angka ini jauh di bawah negara tetangga, di mana Malaysia mengalokasikan 0,95 persen PDB, Thailand 0,40 persen, dan Singapura bahkan mencapai 1,89 persen.

Kondisi ini diperparah dengan perampingan lembaga-lembaga riset yang justru membuat ribuan peneliti kehilangan kepastian. Kasus integrasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke BRIN, misalnya, menyebabkan lebih dari seratus peneliti diberhentikan.

“Situasi tersebut menimbulkan kesan BRIN seperti badan riset “mati suri”, dengan ribuan peneliti dikumpulkan tanpa arah yang jelas,” ujarnya.

Meski demikian, sejumlah peneliti Indonesia masih menorehkan prestasi di kancah internasional. Beberapa nama bahkan masuk dalam daftar 2 persen ilmuwan terbaik dunia versi Stanford University dan Elsevier.

“Namun pencapaian individu ini dinilai tidak cukup menopang ambisi nasional bila sistem riset secara keseluruhan tetap amburadul,” ujarnya lagi. 

Sebagian besar menurut Ongen riset berhenti di jurnal akademik tanpa dihilirisasi menjadi produk teknologi atau inovasi industri.

 “Pemerintah harus segera mengambil langkah revolusioner untuk memperbaiki sistem riset nasional. Jika tidak, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi di siang bolong,” tutupnya. 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved