Pakar: KPU Periode 2022-2027 Banyak Merugikan Negara, Kalau Sadar Diri Ketua dan Jajaran Mundur
Titi menyebut Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menegaskan bahwa anggota KPU harus berintegritas, jujur, dan adil.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banyak langkah dan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai melahirkan masalah di bawah ketua dan jajaran periode 2022-2027.
Menurut pakar kepemiliuan sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, ketua dan seluruh jajaran KPU pusat seharusnya mengambil langkah untuk mengundurkan diri.
Baca juga: Panen Kritik Usai Rahasiakan Data Capres-Cawapres, Pakar: Momentum Tepat KPU Akhiri Masa Jabatan
“Mestinya kalau mereka sadar diri maka mundur adalah pilihan yang paling terhormat bagi segala ekses kerugian negara yang sudah terjadi. Tapi ya tampaknya agak sulit untuk mengharapkan itu,” kata Titi dalam jumpa pers yang berlangsung daring, Minggu (21/9/2025).
Jumpa pers ini merupakan pernyataan sikap dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung di bidang kepemiluan agar adanya penataan ulang kelembagaan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU.
Baca juga: Pakar: Pemerintah dan DPR Harus Berbenah Sebab Banyak Langkah KPU yang Saat Ini Problematik
KPU yaitu lembaga negara yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. KPU bersifat mandiri dan independen, artinya tidak berada di bawah pengaruh pemerintah, partai politik, atau lembaga lainnya.
Titi menyebut Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menegaskan bahwa anggota KPU harus berintegritas, jujur, dan adil. Namun, menurutnya praktik di lapangan justru menimbulkan berbagai masalah.
Ia menekankan, ada tiga persoalan besar yang membayangi kinerja KPU periode saat ini.
Pertama adalah problem kebijakan. Ia menilai sejumlah aturan yang dikeluarkan KPU justru menyimpangi konstitusi.
“Banyak sekali kebijakan yang menyimpangi konstitusi. Tadi Haykal (Perludem) menyebutkan pertama soal penataan dapil perintah putusan MK nomor 80 tahun 2022 tidak dilaksanakan," jelasnya.
"Yang kedua menyimpangi persyaratan pencalonan mantan terpidana melalui Peraturan KPU nomor 10 dan 11 tahun 2023,” sambung Titi.
Tak hanya itu, KPU juga bermasalah dalam pengaturan keterwakilan perempuan, periodisasi jabatan kepala daerah, hingga penghapusan syarat larangan nikah siri yang pernah terungkap dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Jadi berbagai pelanggaran kebijakan tadi membuat KPU kita yang sekarang adalah KPU yang paling banyak merugikan keuangan negara,” katanya.
Dampak dari kebijakan yang keliru itu pun sudah terasa.
Misalnya, akibat pencalonan perempuan yang dilanggar harus ada pemungutan suara ulang. Akibat salah tafsir periodisasi masa jabatan tiga pilkada harus PSU di semua tahapan.
Problem kedua yang disorot adalah perilaku penyelenggara. Titi menyebut komitmen perlindungan terhadap perempuan masih lemah, sementara gaya hidup hedonisme sebagian komisioner dinilai tidak pantas.
Baca juga: KIP ‘Sentil’ KPU saat Keluarkan Aturan soal Data Capres-Cawapres Jadi Rahasia
Usai Geger Aturan Data Capres-Cawapres Rahasia, KPU Temui KIP Bahas Keterbukaan Informasi Publik |
![]() |
---|
Sebelum Batalkan Aturan Data Capres-Cawapres Rahasia, KPU Koordinasi dengan KIP |
![]() |
---|
Berdampak pada Pelaksanaan Pemilu, HNW Tekankan Pentingnya Kajian Serius Putusan MK 135 |
![]() |
---|
Komisi II Usul Revisi UU Pemilu Masuk Prolegnas Prioritas 2026 |
![]() |
---|
Zulhas Sebut Ada Hak Publik untuk Ketahui Informasi Syarat Capres-Cawapres |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.