Fadli Zon Digugat ke PTUN, Sandyawan Sebut Investigasi TGPF soal Kasus Mei 1998 Paling Komprehensif
Menteri Kebudayaan Fadli Zon digugat ke PTUN Jakarta terkait penyangkalan kasus perkosaan massal pada Mei 1998 silam.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis Sandyawan Sumardi merupakan satu dari beberapa penggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke PTUN Jakarta terkait penyangkalan kasus perkosaan massal pada Mei 1998 silam.
Sandyawan Sumardi merupakan Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) yang turut andil dalam proses pencarian fakta terkait kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Ia kemudian bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman.
Sandyawan mengatakan pada 12 Mei 1998, TRUK membuka posko pengaduan bagi para korban kerusuhan, baik korban penjarahan, korban yang rumahnya dibakar, maupun korban-korban yang anggota keluarganya meninggal dunia akibat kekerasan, baik karena dibakar di mal-mal, maupun ditembak.
Kata dia diantara korban-korban itu ada juga pengaduan-pengaduan langsung dari korban kekerasan terhadap perempuan atau perkosaan.
"Setiap hari antara 25 sampai 250 orang (korban) mengadu," kata Sandyawan dalam konferensi pers secara daring, Kamis (11/9/2025).
Saat itu, katanya, anggota TRUK tersebar bukan hanya di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia, di antaranya di Surabaya, Solo, dan Palembang.
"Anggota tim relawan (TRUK) itu begitu luas, begitu banyak kejadian-kejadian dan kami memiliki mobilitas tinggi ketika itu. Justru ketika lembaga-lembaga, baik lembaga maupun masyarakat sipil banyak yang tutup ketika itu, maka kami menjadi satu dan kami mendatangi tempat-tempat dimana terjadinya kekerasan itu," jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, Sandyawan mengatakan sangat sulit untuk mendapatkan kesaksian dari perempuan korban perkosaan.
Hal itu dikarenakan, menurutnya, korban harus memiliki rasa kepercayaan terhadap relawan yang mendatanginya.
"Sangat sulit untuk meminta kesaksian korban. Tidak mudah untuk yang mau, karena korban harus betul-betul percaya dengan orang yang mendatanginya," ucap Sandyawan.
Pendataan para korban Kerusuhan 1998 yang dilakukan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan berlangsung lebih dulu daripada TGPF pimpinan Marzuki Darusman.
Dia menyadari kualitas investigasi yang dilakukan pada saat kejadian akan berbeda hasilnya dengan investigasi yang dilakukan jauh setelah kejadian berlangsung.
Sandyawan menuturkan TGPF Kerusuhan Mei 1998 dibentuk di Mabes TNI, berdasarkan Surat Keputusan Presiden B.J Habibie.
Ia tergabung dalam tim tersebut untuk mewakili TRUK.
Menurutnya, TGPF Kerusuhan Mei 1998 merupakan tim pencari fakta yang paling komprehensif dibandingkan tim pencari fakta yang pernah ada di belahan dunia manapun.
Hal itu dikarenakan, jelasnya, struktur keanggotaan TGPF Kerusuhan Mei 1998 bukan hanya diisi oleh para petinggi kementerian dan lembaga negara, tapi juga sejumlah perwakilan dari masyarakat sipil.
"Luar biasanya adalah, setelah saya pelajari, bandingkan dengan berbagai tim pencari fakta di dunia, TGPF ini termasuk yang paling komprehensif karena bukan hanya mengikutsertakan hampir seluruh kementerian lembaga-lembaga negara, tapi juga mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil, baik Komnas HAM, LBH, maupun saya sendiri misalnya mewakili tim relawan untuk kemanusiaan," kata Sandyawan.
"Kekuatan dari TGPF ini adalah bisa meminta rahasia negara yang ada di berbagai institusi negara. Sehingga kami bisa mewawancarai bukan hanya Pak Wiranto, Pak Prabowo, tapi juga semua petinggi-petinggi, termasuk Kepala BIA, Badan Intelejen Abri ketika itu, Zacky Anwar Makarim," sambungnya.
Bahkan, ia mengatakan, baru kali itu ada satu lembaga pencari fakta yang begitu berwibawa sehingga bisa memanggil siapapun juga yang dianggap ikut bertanggung jawab atau terlibat atau bisa dimintai kesaksiannya terkait Kerusuhan Mei 1998.
"Pembentukan TGPF didorong oleh beberapa negara sahabat karena situasi pemerintahan di Indonesia saat itu chaotic dan lemah," jelasnya.
Lebih lanjut, Sandyawan menjelaskan, ia juga sempat menjadi delegasi dari TGPF Kerusuhan 1998 untuk membawa hasil investigasi tim pencari fakta tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut menjadi sorotan berbagai negara di dunia.
Oleh karena itu, Sandyawan mengatakan, penyangkalan Fadli Zon terhadap kasus perkosaan massal Mei 1998 merupakan satu tindakan yang mendelegitimasi hasil investigasi TGPF sebagai tim pencari fakta yang sangat komprehensif.
"Menurut saya, Menteri Kebudayaan yang sedang berkuasa berusaha untuk mendelegitimasi TGPF sebagai salah satu tim pencari fakta yang begitu komprehensif dibandingkan dengan tim pencari fakta di belahan dunia manapun," katanya.
Selain itu, ia menilai, pernyataan Fadzli Zon sebenarnya mengungkapkan cara rezim otoriter dalam memanipulasi narasi sejarah untuk melambungkan dan mempertahankan kekuasaannya.
"Dengan demikian, saudara Fadli Zon sebagai Menteri negara sedang berupaya untuk membatasi akses terhadap kebenaran sejarah yang sebenarnya, dan mengarahkan publik pada kebenaran tunggal yang diproduksi oleh kekuasaan pemerintahan dengan cara menyensor mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah," pungkas Sandyawan.
Fadli Zon Digugat ke PTUN
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendaftarkan gugatan atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait penyangkalan pemerkosaan Mei 1998 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Para penggugat, di antaranya penggugat perorangan, yang terdiri dari Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 Marzuki Darusman, pendamping korban perkosaan massal Mei 1998 Ita Fatia Nadia, perwakilan Paguyuban Mei 1998 Kusmiyati, dan Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Sandyawan Sumardi.
Kemudian, penggugat badan hukum perdata, terdiri dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Kalyanamitra.
Gugatan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut didaftarkan, pada Kamis (11/9/2025).
"Pada hari ini kami telah melayangkan gugatan berkaitan dengan gugatan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan objek gugatan yang kami layangkan kepada Menteri Kebudayaan," kata perwakilan kuasa hukum para penggugat Jane Rosalina, dalam konferensi pers secara daring, Kamis.
Jane mengatakan, objek gugatan yang dilayangkan pihaknya, yaitu berupa tindakan administratif pemerintahan berupa pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam siaran berita Kementerian Kebudayaan dengan nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tertulis tanggal 16 Mei 2025 dan disiarkan pada 16 Juni 2025 serta diunggah melalui akun Instagram resmi Menteri Kebudayaan atas nama Fadli Zon dan akun resmi Kementerian Kebudayaan atas nama Kemenbud tertanggal 16 Juni 2025.
Adapun dalam siaran berita Kementeriaan Kebudayaan dan unggahan akun instagram Fadli Zon itu, menyatakan sebagai berikut:
"Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama waktu peristiwa tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri. Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik sebagaimana lazimnya dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik."
Gugatan tersebut teregister dengan Nomor Perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua TGPF Mei 1998 Marzuki Darusman mengatakan, gugatan terhadap Menteri Kebudayaan yang dilayangkan kepada PTUN Jakarta ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban.
"Karena itu gugatan kepada PTUN ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban, pada saat ini yang dalam proses menuju kepada pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemerintah ini," ucap Marzuki, dalam konferensi pers.
Ia menekankan, pemerintah terdahulu telah mengakui peristiwa Mei 1998 merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang harus diselesaikan negara.
"Melanjutkan apa yang sudah diakui oleh pemerintah yang lalu bahwa peristiwa Mei merupakan bagian dari serangkaian pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia berat yang diakui negara sebagai utang pada bangsa ini untuk diselesaikan," pungkasnya.
Seperti diketahui, kasus pemerkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 silam kembali menjadi perbincangan publik.
Hal itu setelah pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kasus pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai fakta sejarah, dalam sebuah sesi wawancara terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian yang dipimpinnya.
Dalam sebuah siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon mempertanyakan kebenaran pemerkosaan massal yang terjadi dalam tragedi Mei 1998.
Ia menyebut peristiwa itu masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan karena belum ditemukan “fakta keras” yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis.
“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya dalam siniar tersebut.
Lebih lanjut, Fadli bahkan meragukan keberadaan rudapaksa massal dalam sejarah resmi.
“Nah, ada rudapaksa massa betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” tegasnya.
Pernyataan itu langsung menuai reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil yang telah puluhan tahun memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi 1998, khususnya perempuan etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual.
Duduk Perkara Tutut Soeharto Gugat Purbaya Yudhi Sadewa, Gara-gara Keputusan Menkeu Era Sri Mulyani |
![]() |
---|
Kenapa Tutut Soeharto Dicekal Keluar Negeri? Perkara Piutang Negara Rp700 M |
![]() |
---|
Jawaban Nyeleneh Menkeu Purbaya Soal Gugatan Tutut Soeharto: Bu Tutut Malah Kirim Salam ke Saya |
![]() |
---|
Tutut Soeharto Gugat Kementerian Keuangan ke PTUN, Kemenkeu Bilang Belum Terima Suratnya |
![]() |
---|
Yusril Sebut Kewenangan Pembentukan TGPF Kericuhan Demo Akhir Agustus Ada di Tangan Presiden Prabowo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.