Selasa, 7 Oktober 2025

Ekonom Ingatkan Pemerintah, Minimnya Sosialisasi Kebijakan Bisa Munculkan Resistensi Masyarakat

Achmad Nur Hidayat menilai Kemenkes mengambil langkah terburu-buru dalam membentuk Satgas Pengendalian Iklan Rokok. 

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS/HERUDIN
LARANGAN MEROKOK - Aktivis melakukan kampanye dengan menempelkan stiker larangan merokok di dalam angkutan umum, di terminal Senen Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2013). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengambil langkah terburu-buru dalam membentuk Satgas Pengendalian Iklan Rokok

Sebab menurutnya implementasi Pasal 446 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 belum memiliki panduan operasional yang jelas. Sehingga menimbulkan kekhawatiran adanya pemutusan konten secara serampangan dan tidak proporsional.
 
"Ibarat orang menebang pohon di hutan gelap tanpa lampu senter, kebijakan ini bisa menebas bukan hanya batang beracun, tetapi juga pepohonan sehat yang menopang ekosistem media dan ruang diskusi publik," kata Achmad kepada wartawan, Senin (8/9/2025).

Achmad Nur Hidayat merupakan ekonom sekaligus akademisi, dan pendiri Narasi Institute, sebuah lembaga pemikiran kebijakan ekonomi di Indonesia.

Dirinya pernah bekerja sebagai Kepala/Koordinator Analis Badan Supervisi Bank Indonesia periode tahun 2010-2021. Ia juga merupakan ekonom senior pada Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) periode 2016-2019 di era Presiden Joko Widodo.
 
Lebih lanjut, Achmad menyoroti bahwa PP 28/2024 tidak menjelaskan secara rinci definisi media sosial berbasis digital maupun batasan iklan rokok di platform terbuka seperti Instagram, TikTok, YouTube, atau media daring berbasis artikel. 

Ketidakjelasan ini, menurutnya, membuka ruang interpretasi yang terlalu luas dan berisiko menimbulkan kesalahan dalam pelaksanaan.
 
Ia kemudian mempertanyakan kewenangan Kemenkes dalam mengatur konten digital secara langsung, serta menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga dan penyusunan SOP yang terukur sebelum kebijakan dijalankan.

Dirinya mengingatkan bahwa kebijakan yang diterapkan tanpa sosialisasi bisa menimbulkan resistensi. 
 
"Pengalaman kita menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tanpa socialization dan readiness assessment berpotensi menimbulkan resistensi," kata dia.
 
Achmad juga mengingatkan bahwa pembatasan yang tidak proporsional terhadap konten digital dapat menimbulkan kerugian ekonomi, terutama bagi media daring dan kreator konten yang kehilangan pendapatan akibat konten mereka dihapus secara paksa, meskipun bukan merupakan promosi langsung produk tembakau.
 
"Publik perlu diyakinkan bahwa kebijakan ini berbasis data kesehatan publik dan evidence-based policy making, bukan semata keputusan moralistik atau tekanan anti-industri," tegasnya.
 
Sementara itu, Akademisi Universitas Lampung, Vito Frasetya menyoroti ketidakjelasan definisi promosi dan iklan rokok dalam kebijakan ini, serta ketidakkonsistenan terhadap aturan terkait media konvensional seperti televisi.
 
"Misalnya, apakah iklan layanan kesehatan yang menyebutkan kadar rokok juga tidak boleh? Ini belum ada kejelasan," tanyanya.

Menurut Vito, pelaku industri media membutuhkan kejelasan teknis mengenai batasan konten yang dilarang. Ia menilai narasi kebijakan masih lemah dan belum memiliki panduan tunggal yang bisa dijadikan acuan.

"Apakah tidak boleh menampilkan produknya? Atau jenisnya? Atau ada batasan lainnya? Jadi belum jelas, narasinya belum kuat," kata dia.

Ia menyoroti lemahnya sosialisasi kebijakan ini, yang menyebabkan banyak pelaku usaha di bidang media siber dan media sosial belum memahami substansi aturan tersebut.

"Dibutuhkan pula sosialisasi yang lebih luas agar ada pemahaman bersama dengan tujuan semua pemangku kepentingan bisa menjalankannya dengan cara lain yang lebih kreatif serta efektif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan masyarakat," tutupnya.

Sebagai informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberlakukan pengendalian iklan rokok di media siber melalui Satgas yang menjalankan PP 28/2024 sebagai aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sejak 26 Juni 2025. 

"Kementerian Komdigi baru dapat mengambil tindakan tegas berupa pemutusan akses atau pemblokiran iklan rokok di media sosial berdasarkan pengaduan dari Kementerian Kesehatan," kata Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Mediodecci Lustarini, di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pihaknya mengingatkan bahwa promosi rokok di media daring yang tidak terkendali berpengaruh pada anak-anak. 

Baca juga: Serikat Pekerja Minta Pelonggaran PP 28/2024 Soal Zonasi Iklan Rokok, Alasannya Ini

"Kita akan ingatkan bahwa promosi ini berdampak pada anak-anak. Kami juga akan komunikasi langsung dengan platform tempat pelanggaran ditemukan,” kata Siti.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved