RUU Perampasan Aset
Surat Terbuka untuk DPR, THMP Sampaikan Pertimbangan Hukum Mendalam soal RUU Perampasan Aset
Surat terbuka berisi pertimbangan hukum komprehensif mengenai Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA)
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Salma Fenty
TRIBUNNEWS.COM - Tim Hukum Merah Putih (THMP) menyampaikan surat terbuka ditujukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Surat terbuka berisi pertimbangan hukum komprehensif mengenai Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA).
Dalam surat yang ditandatangani Koordinator THMP, C. Suhadi, tim menyampaikan apresiasi terhadap semangat pemberantasan korupsi, namun juga mengingatkan pentingnya keselarasan RUU tersebut dengan prinsip-prinsip hukum dasar yang dianut oleh negara Indonesia.
Surat yang diterima redaksi pada Kamis (5/9/2025) tersebut secara detail menguraikan beberapa aspek fundamental dalam RUU tersebut, dengan harapan dapat menjadi bahan pertimbangan yang berharga bagi anggota dewan dalam proses pembahasan lebih lanjut.
THMP mengawali pandangannya dengan menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem Civil Law atau Eropa Kontinental.
Dalam sistem ini, semua peraturan perundang-undangan harus bersifat tertulis dan terkodifikasi untuk menciptakan kejelasan dan kepastian hukum.
Sistem ini, yang berlandaskan pada pemisahan kekuasaan (trias politica), mensyaratkan bahwa semua peraturan perundang-undangan harus saling menyeimbangkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lain berdasarkan asas ius constitutum.
Dalam suratnya, THMP menyampaikan kekhawatiran mendalam mengenai mekanisme perampasan aset tanpa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Tim hukum ini mengingatkan, mekanisme tersebut perlu dikaji lebih mendalam agar selaras dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dilindungi konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk KUHAP Pasal 66, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 18, dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Prinsip presumption of innocence merupakan landasan penting dalam sistem peradilan kita yang perlu tetap dijunjung tinggi bahkan dalam semangat memberantas korupsi. Konsep ini telah diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan menjadi bagian dari peradaban hukum modern," kata Suhadi membacakan bagian isi surat.
THMP juga menyoroti potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mungkin timbul dari penerapan RUU tersebut.
Baca juga: DPR Ungkap Penyebab RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan, Akibat 3 RUU Ini
Menurut mereka, perampasan aset tanpa proses pengadilan yang fair dapat berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
Selain itu, mereka memperingatkan bahwa kebijakan tersebut dapat memicu gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Sebagai alternatif konstruktif, THMP merekomendasikan agar pemerintah dan DPR dapat mengoptimalkan penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah ada, khususnya mengenai mekanisme pembuktian terbalik.
Menurut mereka, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang sudah memberikan instrumen yang memadai untuk penyitaan aset dengan tetap menjunjung tinggi proses hukum yang fair dan melindungi hak-hak semua pihak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.