Demo di Jakarta
Perkuat Literasi, Masyarakat Diminta Periksa Sumber Berita Sebelum Sebar Informasi Terkait Demo
Ia menjelaskan delegitimasi biasanya dilakukan dengan cara menyebarkan disinformasi, memelintir fakta, hingga memainkan emosi masyarakat.
Penulis:
Erik S
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerusuhan yang terjadi di depan Gedung DPR pada 28 Agustus 2025 menyisakan duka yang mendalam, terutama dengan terbunuhnya seorang pengemudi ojek online yang tidak bersalah.
Tragedi ini tidak hanya menjadi isu kemanusiaan, tetapi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyulut kebencian terhadap pemerintah yang sah.
"Masyarakat perlu berhati-hati dalam menyikapi informasi dan narasi yang berkembang pasca peristiwa tersebut. Ada upaya sistematis dari kelompok tertentu untuk menggiring opini publik seolah-olah pemerintah saat ini gagal total dan tidak memiliki legitimasi. Inilah yang disebut dengan upaya delegitimasi, yaitu meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah," kata Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, Jumat (29/8/2025).
Ia menjelaskan delegitimasi biasanya dilakukan dengan cara menyebarkan disinformasi, memelintir fakta hingga memainkan emosi masyarakat yang sedang berduka.
Narasi tentang 'pemerintah anti-rakyat' atau 'pemerintah sama dengan rezim otoriter masa lalu' sering dihembuskan tanpa dasar yang kuat.
"Pola semacam ini pernah terjadi pada masa lalu, terutama menjelang tahun 1998. Pada saat itu, krisis ekonomi, politik, dan sosial yang menumpuk membuat masyarakat mudah diprovokasi.
Namun, penting untuk dipahami bahwa kondisi Indonesia saat ini jauh berbeda dibandingkan sebelum era reformasi," jelas Haidar Alwi.
Perbedaan pertama terletak pada kondisi ekonomi. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang parah, inflasi yang tinggi, dan nilai rupiah terjun bebas.
"Kini, meski menghadapi tantangan global, fundamental perekonomian Indonesia relatif stabil dengan cadangan devisa yang kuat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tetap positif," tutur Haidar Alwi.
Kedua, dari sisi politik, Indonesia telah memiliki mekanisme demokrasi yang jauh lebih matang dibandingkan sebelum reformasi.
"Dulu, kebebasan berpendapat dan berserikat dibatasi, sementara kini ruang demokrasi terbuka lebar. Kritik terhadap pemerintah dapat disampaikan melalui banyak saluran hukum, tanpa harus berakhir pada kekerasan," ungkap Haidar Alwi.
Ketiga, dari sisi hukum, keberadaan lembaga independen seperti Mahkamah Konstitusi, KPK, Ombudsman, hingga Komnas HAM menjadi penyangga agar kekuasaan tidak sewenang-wenang.
"Pada era pra-reformasi, mekanisme check and balance tidak berjalan sebagaimana mestinya," ujar Haidar Alwi.
Keempat, peran masyarakat sipil saat ini jauh lebih kuat. Organisasi non-pemerintah, ahli dan pengamat, media, hingga komunitas digital dapat menjadi pengawas efektif terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia sudah jauh lebih dewasa.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Demo di Jakarta
Bukan Ikut Demo, Bima dan Eko Pergi dari Rumah Karena Ingin Hidup Mandiri |
---|
Aktivis yang Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya Mogok Makan, Kondisi Syahdan Husein Mengkhawatirkan |
---|
Prajurit TNI Ikut Jaga DPR dan Fasilitas Umum, Jubir Kementerian Pertahanan: Permintaan Kepolisian |
---|
3 Fakta Ditemukannya Bima Permana Putra yang Diduga Hilang saat Demo Ricuh di Jakarta |
---|
2 Sosok Dilaporkan Hilang oleh KontraS Ditemukan: Ternyata Penjual Mainan dan Nelayan |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.