Minggu, 5 Oktober 2025

Cerita Prabowo Temukan Prasasti Tahun 1978 di Manggarai, Kala Pribumi Disamakan dengan Hewan

Prabowo Subianto mengisahkan pengalamannya menemukan prasasti peninggalan kolonial di kawasan Manggarai pada tahun 1978. 

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Dewi Agustina
Tangkapan layar dari YouTube Sekretariat Presiden
PRABOWO TEMUKAN PRASASTI - Presiden RI Prabowo Subianto mengisahkan pengalamannya menemukan prasasti peninggalan kolonial di kawasan Manggarai pada tahun 1978. Hal itu disampaikan Prabowo saat membuka Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Otonomi Expo 2025 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (28/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden RI Prabowo Subianto mengisahkan pengalamannya menemukan prasasti peninggalan kolonial di kawasan Manggarai pada tahun 1978. 

Dalam prasasti tersebut, tertulis larangan masuk bagi pribumi yang disamakan dengan hewan anjing.

Baca juga: Prabowo Bongkar Praktik Pengusaha Nakal: Dapat HGU dan Kredit Bank, Enggan Bayar Pajak

Hal itu disampaikan Prabowo saat membuka Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Otonomi Expo 2025 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (28/8/2025).

Prasasti adalah piagam atau dokumen tertulis yang dibuat pada bahan keras dan tahan lama seperti batu, logam, atau tanah liat. 

 

 

Prasasti biasanya digunakan untuk merekam peristiwa penting, seperti keputusan kerajaan, peresmian bangunan, pemberian hak istimewa, atau pencapaian tertentu dalam sejarah.

"Saya pernah tahun 1978, letnan satu, datang ke kolam renang Manggarai, ada prasasti yang tertutup lumut, saya suruh bersihkan saya kaget di prasasti dipahat Verboden voor honden en inlander. Tahun 78, rupanya ditutup lumut nggak ada yang peduli, tetapi kalau saya dasarnya memang ingin tahu," kata Prabowo.

Baca juga: Prabowo Singgung Kasus Noel: Saya Agak Malu Tapi Hukum Harus Jalan

Ungkapan "Verboden voor honden en inlander" berasal dari bahasa Belanda dan secara harfiah berarti: "Dilarang untuk anjing dan pribumi."

Kalimat ini adalah simbol diskriminasi rasial yang digunakan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. 

Tulisan seperti ini pernah ditemukan di tempat-tempat umum seperti kolam renang, taman, atau gedung-gedung tertentu, yang menunjukkan bahwa hanya orang Eropa (khususnya Belanda) yang diperbolehkan masuk, sementara pribumi Indonesia dan bahkan anjing dianggap tidak layak untuk berada di sana.

Prabowo menilai pengalaman itu menunjukkan betapa rendahnya martabat pribumi di mata kolonial. 

Ia menyebut hal itu tidak hanya dialami bangsa Indonesia, tetapi juga India dan China pada masa penjajahan.

"Saudara-saudara, pribumi dan anjing dilarang masuk jadi kita disamakan dengan anjing dan tidak hanya kita. Di India begitu, dan bedanya dipertahankan sebagai bahan pelajaran untuk anak-anak muda. ‘No Dogs or Indians’ di China sama juga ‘Dogs and Indians are not allowed’ di Shanghai juga begitu," ujarnya.

Menurut Prabowo, penderitaan akibat penjajahan itulah yang melatarbelakangi para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dengan pasal-pasal penting untuk melindungi rakyat. 

Ia menegaskan pemikiran itu tetap relevan hingga sekarang.

"Mereka mengalami imperialisme, mereka mengalami penjajahan karena itu mereka menyusun. Saya merasa bahwa pasal-pasal penting di UUD kita abaikan. Ini yang membuat kita sulit sekarang," ucapnya.

Selain itu, ia menilai pasal 33 dan 34 UUD 1945 menjadi pasal pengaman yang dirancang untuk melindungi kepentingan rakyat dan memastikan perekonomian tidak dikuasai oleh segelintir pihak.

"Pasal 33 dan pasal 34 ini adalah pasal pengaman kalau kita lihat di UUD kita yang sangat ringkas, tetapi sangat menjawab masalah. Memang ada orang-orang pintar yang punya gelar-gelar tinggi saya yakin sebagian dari mereka memandang pendiri-pendiri bangsa kita sudah tidak relevan," jelasnya.

Prabowo mengingatkan agar pemimpin bangsa tidak meremehkan warisan pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Prof Soepomo, dan Mohamad Yamin. 

Ia menegaskan pengalaman langsung para pendiri bangsa harus dijadikan pegangan, bukan diabaikan.

"Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahri, Prof Soepomo, Mohamad Yamin itu semua tidak relevan. Padahal mereka mengalami penjajahan. Mereka mengerti imperialism yang mungkin anak-anak sekarang tidak paham. Dulu kita, kita ini pribumi, dipandang lebih rendah dari hewan," ucapnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved