Jumhur Hidayat Tegaskan Larang Anggota KSPSI Ikut Aksi 25 Agustus: Tidak Jelas Penanggung Jawabnya
KSPSI tidak akan ikut dalam rencana Aksi 25 Agustus 2025 depan Gedung DPRI, Senayan, Jakarta Pusat. Ini alasannya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat mengatakan organisasinya tidak akan ikut dalam rencana Aksi 25 Agustus 2025 depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat.
Seruan demo 25 Agustus 2025 jadi bahan perbincangan usai viral lewat media sosial.
Aksi yang diinisiasi gerakan mengatasnamakan "Revolusi Rakyat Indonesia" itu mengajak elemen masyarakat, buruh, petani, dan mahasiswa yang berencana untuk turun ke jalan, dengan membawa tuntutan pembubaran DPR.
Menurut Jumhur, aksi tersebut tidak jelas siapa penanggung jawabnya dan isu yang diusung.
Ia mengatakan pihaknya tidak ikut karena tidak jelas penanggung jawab seruan aksi tersebut.
Baca juga: Warga Pati dan Bone Demo, Irman Gusman Minta Pemerintah Daerah Diskusi dengan Publik Soal Tarif PBB
"Karena tidak jelas siapa penanggung jawab dan juga apa isu yang dituntutnya," kata Jumhur dalam keterangannya, Sabtu (23/8/2025).
Oleh karena itu, Jumhur melarang anggotanya mengikuti aksi tersebut.
"Saya melarang semua anggota atau keluarga besar KSPSI di seluruh Indonesia khususnya di wilayah Jabodetabek dalam aksi 25 Agustus," kata Jumhur.
Jumhur menyampaikan bahwa bila tidak ada penanggung jawabnya, aksi 25 Agustus rawan menjadi anarkis sehingga menciptakan kondisi rusuh yang berujung pada pertarungan politik elite.
"Ini artinya mengorbankan rakyat untuk kepentingan politik elit. Karena itu KSPSI dan juga semoga semua gerakan masyarakat sipil khususnya elemen gerakan buruh sahabat, tidak mengambil bagian dalam aksi itu," tegas mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu.
Baca juga: Demo Pati 25 Agustus Hoaks, Masyarakat Pati Bersatu: Kami Fokus Kawal Hak Angket
Lebih jauh lagi, Jumhur mengatakan bahwa sistem politik Indonesia itu lebih berat pada kekuasaan eksekutif. Jadi, kalau ada keperluan menuntut perubahan kebijakan, lebih tepat bila diarahkan pada Pemerintah.
Namun untuk saat ini, Pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto justru sedang berjuang keras menghadirkan keadilan dan pemberantasan korupsi.
"Berbagai kebijakan mendasar yang biasanya atas suruhan oligarki hitam saat Rezim Joko Widodo, saat ini secara bertahap mulai diubah untuk kepentingan rakyat."
"Walau memang kelompok lama banyak yang menentang ya kita kaji saja perkembangannya dari waktu ke waktu sebelum memutuskan untuk bertindak," pungkas Jumhur.
(Tribunnews.com/Erik Sinaga)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.