Rekap Manual Bikin Boros, ASN Kemenkeu Minta Anggaran Pemilu Dipangkas
Almizan Ulfa membawa sejumlah data yang dihimpun bersama timnya untuk menggugat anggaran Pemilu yang terus bertambah setiap tahunnya ke MK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pensiunan ASN Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Almizan Ulfa membawa sejumlah data yang dihimpun bersama timnya untuk menggugat anggaran Pemilu yang terus bertambah setiap tahunnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Almizan merupakan pemohon yang menguji Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Ia menyoroti terkait sistem rekapitulasi manual berjenjang dalam proses pemilu.
Menurutnya, proses rekapitulasi manual seperti itu sangat boros anggaran.
“Hanya Rp1,5 triliun pada Pemilu 1999, membengkak ke Rp4,45 triliun pada Pemilu 2004, terus membengkak lagi menjadi Rp8,5 triliun pada Pemilu 2009, melambung tinggi menjadi masing-masing Rp45,3 triliun dan Rp71,3 triliun untuk Pemilu 2019 dan 2024,” ujar Almizan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta. Jumat (22/8/2025).
Itu merupakan indikasi, lanjut Almizan, ihwal terjadinya pemborosan keuangan negara secara kronis dan dalam jumlah yang sangat besar.
“Merugikan dan merongrong kesejahteraan warga negara termasuk para pemohon,” tuturnya. Dalam permohonannya, Almizan menegaskan pengeluaran berlebihan itu dapat dinihilkan.
“Sehingga anggaran pemilu itu cukup dalam angka beberapa triliun rupiah saja bukan puluhan triliun yang mencapai lebih dari 70 triliun rupiah untuk pemilu 2024,” tegasnya.
Maka dari itu, ia bersama 4 pemohon lainnya, meminta agar norma rekapitulasi manual berjenjang dalam UU Pemilu dihapus dan diganti dengan norma penghitungan elektronik suara secara transparan dan bertanggungjawab.
Permohonannya terdaftar dalam nomor perkara 141/PUU-XXIII/2025.
Adapun sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang diuji yaitu Pasal 381 ayat (1), Pasal 393 ayat (2), Pasal 397 ayat (1), Pasal 398 ayat (2), Pasal 402 ayat (2), dan Pasal 405 ayat (2).
Hakim konstitusi Guntur Hamzah memuji rancangan permhonan yang diajukan oleh Almizan dkk.
“Memang di sini saya melihat bapak dari segi kerapian, sistematika memang bagus banget ini, ya. Karena memang ini sudah dirancang dengan bapak selama setahun ini dan saya akui juga bahwa itu bagus cara penulisannya bapak, semua, sistematikanya, strukturnya, dan sebagainya rapi banget,” ujarnya.
Baca juga: Pensiunan ASN Kemenkeu Bilang Sistem Rekapitulasi Pemilu Pembodohan Publik, Sarankan Diganti
Namun begitu, Guntur juga menekankan ihwal pemohon juga harus memerhatikan aspek substansi.
Menurutnya, dalam mendorong penggunaan sistem penghitungan elektronik, pemohon perlu menyajikan perbandingan yang jelas dengan sistem rekapitulasi manual berjenjang.
“Ya, kita kan berbicara tidak hanya aspek itu, tapi aspek substansi. Misalnya, Bapak pengin mendorong ya, sistem dengan penghitungan secara elektronik, kan begitu, secara elektronik ya, misalnya melalui Sirekap itu. Apa nih pembandingnya nih, antara manual berjenjang, sistem penghitungan manual berjenjang dengan Sirekap ini,” ujarnya.
Baca juga: Komisi II Tegaskan Sirekap Hanya Alat Bantu Kerja KPU Bukan Acuan Utama Rekapitulasi Suara Pilkada
Guntur menyarankan agar pemohon menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) untuk menunjukkan kelebihan maupun kelemahan kedua sistem tersebut. Dengan begitu, perbandingan menjadi lebih mudah dipahami.
Namun juga Guntur menekankan, penilaian soal sistem mana yang lebih baik bukan merupakan ranah MK, melainkan wilayah pembentuk undang-undang.
Apalagi saat ini DPR tengah melakukan pembahasan revisi terhadap UU Pemilu.
Kondisi Belum Kondusif Akibat Demo, Pemerintah dan DPR Minta Sidang di MK Secara Daring |
![]() |
---|
Ahli Sebut Alasan Kondisi Fisik Tidak Relevan Bedakan Usia Pensiun Guru dan Dosen |
![]() |
---|
HNW Dukung Putusan MK Agar DPR Segera Revisi UU Zakat: Maksimalkan Manfaat dan Potensi Zakat |
![]() |
---|
Sidang MK Soal Polisi Duduki Jabatan Sipil Ditunda, Pemerintah dan DPR Belum Siap |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.