Gaji Anggota DPR
Kala Anggota DPR RI Dapat Tunjangan Rumah Rp50 Juta, Masih Ada Warga Tinggal di Rumah tanpa Atap
Anggota DPR RI bisa membeli rumah subsidi seharga Rp166 juta di Pulau Jawa hanya dalam waktu empat bulan dengan tunjangan rumah Rp50 juta tersebut.
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah ramai tunjangan rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR), terselip ironi di negeri ini; masih ada masyarakat yang tinggal di hunian tak layak.
Adapun besaran gaji dan tunjangan yang didapat oleh anggota dewan yang seharusnya mewakili rakyat ini tengah jadi sorotan.
Salah satu yang banyak dibahas adalah soal tunjangan rumah.
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin secara terbuka mengungkap, total penghasilan anggota dewan bisa melebihi Rp100 juta per bulan, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.
Hal tersebut ia sampaikan saat menjawab pertanyaan soal sulitnya mencari uang yang halal di parlemen.
Tunjangan rumah senilai Rp50 juta yang diperoleh anggota DPR RI setiap bulan juga mencuat berkat pernyataan Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar.
Pada awal Oktober 2024 lalu, Indra telah mengonfirmasi adanya tunjangan rumah sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang dihapus.
Tunjangan rumah Rp50 juta ini sesuai kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Setjen DPR RI Nomor B/733/RT.01/09/2024.
Angka Tunjangan yang Fantastis
Mengingat total ada 580 anggota DPR RI periode 2024-2029, tunjangan ini diperkirakan dapat menghabiskan Rp1,74 triliun selama 5 tahun masa jabatan mereka, dengan rincian Rp50 juta x 60 bulan x 580 anggota DPR RI.
Sebuah angka fantastis yang harus digelontorkan oleh negara demi memenuhi tunjangan rumah anggota dewan.
Baca juga: Tunjangan Rumah DPR Capai Rp50 Juta per Bulan, Dasco: Hitungannya dari Kementerian Keuangan
Di sisi lain, anggota DPR RI dapat membeli rumah subsidi di Pulau Jawa atau Sumatera hanya dalam waktu kurang lebih empat bulan saja dengan tunjangan rumah Rp50 juta tersebut.
Angka ini didapat jika menilik dari data besaran rumah subsidi tahun 2025 di Pulau Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Sumatera (kecuali Kep. Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai).
Yakni, sebesar Rp166 juta sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan, dikutip dari Kompas.com.
Atau, hanya sekitar lima bulan untuk membeli rumah subsidi sesuai harga tahun 2025 di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan yang senilai Rp240 juta.
Ada Warga yang Tinggal di Rumah Tak Layak
Saat anggota DPR RI dengan mudahnya mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, masih ada warga yang kesulitan mendapat rumah layak huni.
Misalnya, kisah keluarga Tri Widiatsih (51) yang tinggal di rumah tanpa atap di Kelurahan Sragen Tengah, Kecamatan/Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Rumah Asih, panggilan akrab Tri Widiatsih, berada di tepi aliran Sungai Garuda dan merupakan peninggalan orang tua.
“Ini rumah warisan ibu, dibangun 2 tahunan ini,” ungkap Asih kepada TribunSolo.com, Kamis (21/8/2025).
Kondisi rumah Asih jauh dari kata layak. Sebab, terlihat seperti bangunan yang belum selesai dikerjakan.
Bagian dinding sudah terpasang bata ringan, tetapi sebagian besar bangunan belum beratap. Sisi kanan rumah pun hanya ditutup dengan asbes sederhana.
Pintu utama bukan terbuat dari kayu atau besi, melainkan lembaran asbes, sedangkan bagian jendela ditutup dengan triplek seadanya.
Di bagian dalam, nyaris tak ada perabot rumah tangga, dan seluruh anggota keluarga tidur bersama di satu kamar, tanpa sekat maupun pintu.
Di belakang rumah, dapur dan kamar mandi menyatu tanpa pembatas, dan hanya ada kompor kayu bakar untuk memasak.
Di rumah itu, Asih tinggal bersama suami dan anaknya yang masih duduk di kelas 6 SD.
Asih menyebut, pembangunan rumah terhenti lantaran keterbatasan biaya.
“Ini dulu dibangun patungan bersama kakak, jadi kakak ada uang sedikit dibantu dibelikan material, saya juga nabung, ada uang sedikit dibelikan material,” jelasnya.
"Tidak selesai karena uangnya tidak ada, kakak sama adik kan punya kebutuhan sendiri, atapnya itu saja disokong sama kakak-kakak, saya beli sendiri nggak kuat,” imbuh Asih.
Tak hanya belum rampung, rumah tersebut juga belum teraliri listrik.
Untuk penerangan sehari-hari, Asih harus menyambung aliran listrik dari rumah kakaknya yang berada tepat di samping.
Meski begitu, ada kekhawatiran tersendiri ketika musim hujan tiba.
“Kalau hujan tidak kehujanan, cuma ngrembes, takutnya kalau hujan angin seperti kemarin, ya sudah kita bertiga di dalam kamar gitu saja,” tutur Asih.
Kadang kala, jika cuaca terlalu buruk, ia dan keluarganya memilih mengungsi sementara.
“Kalau hujan angin juga kadang menginap di tempat saudara,” pungkasnya.

Rumah milik Tri Widiatsih di Sragen ini hanya satu dari jutaan contoh masyarakat Indonesia yang tidak mampu memiliki rumah yang layak, nyaman, dan sehat.
Saat ini, semakin banyak warga Indonesia yang kesulitan membeli rumah, terutama kaum muda, karena adanya kenaikan harga yang drastis.
Harga rumah, terutama di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung, terus melonjak akibat tingginya permintaan, keterbatasan lahan, dan spekulasi pasar properti.
Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia, terutama pekerja informal atau berpenghasilan rendah, memiliki pendapatan yang tidak cukup untuk membeli rumah dengan harga pasar.
Berdasarkan survei Populix pada 2023, sekitar 61 persen anak muda Indonesia yang berusia 24-39 tahun mengalami kesulitan untuk membeli rumah sendiri.
Data tersebut dikutip dari artikel MENGAPA MEMILIKI RUMAH MENJADI MIMPI MAHAL BAGI GENERASI MUDA yang diunggah di laman tebingtinggikota.go.id pada 28 Februari 2025.
Menurut Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Triwulan II 2023 yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), tercatat harga hunian residensial di pasar primer secara tahunan melanjutkan tren peningkatan, yakni sebesar 1,92 persen year-on-year, lebih tinggi dibandingkan kenaikan triwulan sebelumnya sebesar 1,79 persen.
Sementara itu, pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada triwulan II 2024 tercatat sebesar 1,76 persen year-on-year, sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan I 2024 sebesar 1,89 persen.
Pembelaan DPR RI
Akan tetapi, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar tetap kekeuh memberikan pembelaan mengenai pemberian tunjangan rumah Rp50 juta.
Ia menilai, tunjangan dalam bentuk tunai jauh lebih efisien dan terjamin dari segi akuntabilitas, ketimbang fasilitas rumah yang dikhawatirkan bisa berpotensi terjadinya penyimpangan.
"Sebenarnya kalau kita ngomong teknis gitu, rumah ini sudah dikembalikan kepada negara. Kemudian juga ada kewajiban negara untuk memenuhi hal-hal semacam itu," kata Indra, dikutip dari tayangan Sapa Indonesia Malam yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Rabu (20/8/2025).
"Jadi, sebenarnya ini sudah sangat moderat. Kalau pertanyaan-pertanyaan teknis semacam itu, kita secara jujur juga harus katakan bahwa kondisi objektif dalam pengelolaan keuangan tuh, antara rumah dengan diberikan dalam bentuk uang, memang akuntabilitasnya lebih aman dalam bentuk uang, karena pemeliharaan rumah itu besar dan itu berpotensi ada fraud dan lain sebagainya," tandasnya.
Ia juga menyebut, tunjangan rumah tersebut tidak diputuskan di era pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto.
Menurutnya, tunjangan ini diberikan setelah melihat kondisi rumah anggota dewan di Kalibata, Jakarta Selatan.
“Kajian ini bukan diputuskan di pemerintahan Pak Prabowo, ini diputuskan dulu keluar peraturan dari Menteri Keuangan tanggal 19 Agustus 2024,” ucap Indra.
“Jadi kajiannya dari 2 tahun lalu yang melihat berbagai kondisi rumah di Kalibata khususnya yang bocor, kemudian hampir setiap hujan itu pasti air naik, walaupun setinggi lutut," tambahnya.
(Tribunnews.com/Rizki A.) (Kompas.com) (TribunSolo.com/Septiana Ayu)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.