Rabu, 1 Oktober 2025

Dugaan Korupsi Kuota Haji

KPK Menduga Ada Upaya Menghilangkan Barang Bukti terkait Kasus Korupsi Kuota Haji

KPK mensinyalir adanya upaya penghilangan barang bukti dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji.

Dok Tribunnews
KORUPSI KUOTA HAJI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir adanya upaya penghilangan barang bukti dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir adanya upaya penghilangan barang bukti dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024. 

Indikasi ini ditemukan saat tim penyidik menggeledah sebuah kantor agen perjalanan haji dan umrah di Jakarta pada Kamis (14/8/2025).

Baca juga: Kantor Ditjen PHU Kemenag Digeledah KPK Terkait Korupsi Kuota Haji, Akses ke Lantai 5 Dijaga Ketat

Barang bukti adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi, dan siapa pelakunya. 

Barang bukti bisa berupa benda, dokumen, atau hasil digital yang berkaitan langsung dengan kejahatan.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan temuan tersebut menjadi perhatian serius bagi lembaga antirasuah.

 

 

"Dalam penggeledahan yang dilakukan di kantor biro perjalanan haji MK, yang berlokasi di wilayah Jakarta, penyidik menemukan petunjuk awal adanya dugaan penghilangan barang bukti," ujar Budi Prasetyo dalam keterangannya, Jumat (15/8/2025).

Menyikapi temuan ini, Budi menegaskan pimpinan dan jajaran penindakan KPK akan melakukan evaluasi. 

Pihaknya tidak akan segan untuk menerapkan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengenai perintangan penyidikan atau obstruction of justice.

Pasal tersebut mengancam pihak yang dengan sengaja merintangi proses hukum dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, serta denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.

Penggeledahan di agen travel tersebut merupakan bagian dari serangkaian kegiatan penyidikan yang dilakukan KPK selama sepekan terakhir. 

Selain kantor swasta, penyidik juga telah menggeledah Kantor Kementerian Agama dan rumah pihak-pihak terkait.

Budi menambahkan, proses penggeledahan di Kementerian Agama dan kediaman pihak terkait berlangsung kondusif dan kooperatif. 

Dari seluruh rangkaian penggeledahan, KPK telah mengamankan sejumlah aset seperti satu unit mobil, properti, serta dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang dinilai dapat membuat terang perkara.

Kasus korupsi haji ini telah naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025) lalu. 

KPK saat ini masih menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum, yang berarti belum ada nama tersangka yang ditetapkan secara resmi. 

Berdasarkan perhitungan awal, dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini ditaksir mencapai lebih dari Rp 1 triliun. 

KPK juga telah melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit kerugian negara secara pasti.

"KPK sekaligus menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang terus mendukung KPK dalam penanganan perkara ini," kata Budi, seraya menekankan bahwa korupsi kuota haji berdampak langsung pada lamanya antrean jemaah.

Duduk Perkara Kasus

Pusat masalah dalam kasus ini adalah adanya pergeseran alokasi kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi.

Menurut ketentuan Undang-Undang, alokasi seharusnya dibagi menjadi 92 persen untuk haji reguler yang dikelola pemerintah dan 8 persen untuk haji khusus yang dikelola agen perjalanan.

Namun, KPK menemukan adanya dugaan penyimpangan dimana kuota tambahan tersebut dibagi rata menjadi 50:50, atau masing-masing 10.000 jemaah untuk haji reguler dan khusus.

"Nah di sini penyidik akan mendalami terkait dengan perintah-perintah penentuan kuota tersebut dan juga aliran uang tentunya," jelas Budi.

Desakan untuk mengusut tuntas kasus ini juga datang dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI).

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, bahkan memiliki hitungan sendiri terkait potensi kerugian akibat pungutan liar (pungli) dari penyalahgunaan kuota ini.

Menurutnya, jika 9.222 kuota tambahan untuk haji khusus dikenakan pungli sebesar Rp75 juta per jemaah, maka nilai korupsinya bisa mencapai Rp691 miliar.

"Sumber masalahnya adalah berkaitan dengan adanya kuota haji penambahan 20.000 yang harusnya itu 8 persen hanya untuk diperuntukkan haji khusus tapi nyatanya justru mendapatkan 50 persen," kata Boyamin.

MAKI mendesak KPK agar tidak hanya menjerat pelaku di lapangan, tetapi juga membidik pejabat tinggi yang diduga menjadi "pemberi perintah" di balik kebijakan ilegal tersebut.

Seiring dengan naiknya status perkara ke penyidikan, KPK memastikan akan kembali memanggil mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Penetapan tersangka dalam kasus ini akan diumumkan setelah penyidik memiliki bukti yang cukup untuk menjerat para pihak yang bertanggung jawab.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved