Kasus Fitnah Jusuf Kalla, Silfester Matutina Dimintakan Amnesti dan Ajukan PK, Roy Suryo: Ini Lucu
Roy Suryo menanggapi langkah Silfester Matutina yang mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dalam kasus dugaan fitnah terhadap jusuf Kalla.
TRIBUNNEWS.COM - Pakar telematika Roy Suryo menanggapi langkah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina yang mengajukan PK atau Peninjauan Kembali dalam kasus dugaan pencemaran nama baik atau fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla.
PK resmi diajukan Silfester Matutina ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Peninjauan kembali atau PK merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia.
Permohonan PK dapat dilakukan dalam kasus perdata maupun pidana.
Adapun Silfester Matutina memang belum pernah ditahan, meski sudah dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara pada 2019 atau hampir enam tahun lalu oleh Mahkamah Agung (MA), terkait perkara dugaan fitnah terhadap Jusuf Kalla.
Silfester Matutina dikenal sebagai pendukung garis keras Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 dan pernah menjadi yang pernah menjadi Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Saat ini, Silfester terancam dibui terkait kasus dengan Jusuf Kalla, setelah Kejaksaan Agung RI (Kejagung) menyatakan akan mengeksekusi dirinya.
Sehari sebelum pengajuan PK Silfester, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna, mengatakan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan telah mengundang Silfester untuk dilakukan eksekusi, Senin (4/8/2025).
"Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silakan aja," kata Anang saat ditemui di Gedung Puspenkum Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
"Kita harus eksekusi," sambungnya.
PK Tak akan Halangi Eksekusi Putusan
Baca juga: Komisi Kejaksaan Desak Kejari Jaksel Segera Eksekusi Silfester Matutina: Itu Sudah Inkrah
Awal pekan ini, Kejagung RI juga telah menegaskan bahwa PK yang diajukan Silfester Matutina tak akan menghalangi proses eksekusi vonis yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan.
"Prinsipnya PK tidak menunda eksekusi," kata Anang Supriatna kepada wartawan, Senin (11/8/2025).
Kendati demikian, Anang belum bisa memastikan kapan Silfester Matutina akan dieksekusi.
Ia menerangkan hal itu sepenuhnya wewenang dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan selaku pihak yang menangani perkara tersebut.
"Kewenangan sepenuhnya Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Coba tanya ke Kejari Jakarta Selatan selaku Jaksa eksekutornya," jelasnya.
Kejagung RI sendiri adalah lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan hukum, serta memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Dimintakan Amnesti
Dalam perkara dugaan fitnah/pencemaran nama baik Jusuf Kalla, Silfester Matutina yang belum pernah ditahan meski sudah inkrah putusannya itu juga sempat dimintakan amnesti oleh relawan Jokowi.
Dikutip dari artikel Amnesti: Pengertian, Tujuan, Dasar Hukum, dan Contoh di laman fahum.umsu.ac.id, amnesti adalah tindakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada individu atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Amnesti merupakan salah satu hak prerogatif presiden di ranah yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.
Hak prerogatif berupa amnesti diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, dan hanya bisa diberikan dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan diberikannya amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap individu yang bersangkutan dihapuskan.
Wakil Ketua Umum Relawan Projo Freddy Alex Damanik memohon kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti ke Silfester Matutina seperti yang diberikan ke Hasto Kristiyanto dan lebih dari 1.000 narapidana lainnya serta abolisi ke Tom Lembong, dilansir Wartakotalive.com.
Apalagi, menurut Freddy, Jusuf Kalla sudah memaafkan Silfester Matutina.
"Justru tadi juga saya mau menyampaikan, yang sekarang kasus yang seperti ini banyak yang diamnesti oleh Presiden Prabowo. Apalagi konteksnya ini adalah selaku pelapor yang melaporkan, ya sudah memaafkan," kata Freddy dalam acara Kompas Petang di kanal YouTube Kompas TV, Rabu (6/8/2025).
"Nah, kalau konteks amnesti, berarti lebih mempermudah dong ya," tambahnya.
Freddy menilai, pemberian amnesti untuk Silfester sama konsepnya dengan amnesti yang diberikan Prabowo kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong, yakni demi persatuan bangsa.
"Ini kan kasusnya juga mirip, politik ya. Katakanlah menyerang Pak JK ya. Jadi sangat-sangat ada harapan, sangat ada potensi untuk kasus-kasus seperti Bang Silfester ini untuk diamnesti juga. Toh ini masih range waktu 17 Agustus, memang waktunya," kata Freddy.

Roy Suryo: Lucu-lucuan Ini
Roy Suryo menilai, pengajuan PK yang dilakukan Silfester Matutina dan sempat dimintakan amnesti oleh relawan Jokowi sebagai hal yang lucu.
Hal ini disampaikan eks Menteri Pemuda dan Olahraga RI (Menpora) itu di tayangan Kompas Petang yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Selasa (12/8/2025) sore.
Menurutnya, Mahfud MD yang merupakan pakar hukum ternama se-Indonesia saja sudah setuju jika Silfester Matutina seharusnya dieksekusi, meski sudah mengajukan PK.
Roy Suryo menyebut, PK yang diajukan Silfester Matutina tidak memenuhi syarat
Adapun syarat permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana menurut Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut:
- harus ada novum atau bukti baru
- adanya kekhilafan hakim dalam putusan atau;
- putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi tuntutan.
"Ya jangankan saya ya, orang-orang yang sangat mengerti hukum ya, kayak dewanya hukum di Indonesia, Prof. Mahfud MD misalnya, juga kan mengatakan ini harus dieksekusi gitu loh," kata Roy Suryo.
"Bahkan beliau juga komentar mau ada peninjauan kembali atau tidak. Padahal kan PK itu syarat-syaratnya kan tadi ada novum atau ada kelalaian hakim, kemudian ada misalnya pemberlakuan putusan yang melebihi, itu kan tidak ada semua," tegasnya.
"Dan yang jelas dia harus masuk duluan karena dia belum masuk duluan ya lucu saja kalau kemudian tidak atau belum diberlakukan eksekusinya," lanjut Roy.
"Makanya kalaupun itu dilakukan atau ada permintaan PK, sekarang kan PK, kemarin kan kita juga dengar katanya dimintain amnesti, ya itu lucu-lucuan semua gitu," tandasnya.
Kemudian, Roy Suryo menyindir adanya orang besar yang mem-back up Silfester, lantaran seharusnya sudah dieksekusi sejak lama, dan bahkan putusan sudah muncul di website resmi Mahkamah Agung.
Yakni, Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 287 K/Pid/2019 yang sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, tanggal 20 Mei 2019.
Dalam putusan itu, Silfester Matutina dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Memfitnah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP.
"Kalau kita lihat di website kepaniteraan Mahkamah Agung itu juga jelas bahwa tanggal kirim ke pengadilan pengaju, artinya Mahkamah Agung itu juga kemudian mencatat di sini itu sudah semenjak Senin, 9 September 2019," jelas Roy.
"Jadi sudah lama banget ini memang harusnya dieksekusi. Kenapa tidak? Ya tanyakan kepada orang besar yang ada di balik dia," tandasnya.
Duduk Perkara Kasus Silfester Matutina vs Jusuf Kalla
Silfester Matutina telah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh tim kuasa hukum Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 lalu, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah.
Laporan ini dipicu oleh orasi Silfester pada 15 Mei 2017 di depan Mabes Polri.
Saat itu, ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, Silfester disinyalir telah menyebut keluarga Kalla sebagai penyebab kemiskinan akibat dugaan korupsi dan nepotisme.
Tak lama setelah orasi ini, Silfester bersikukuh tidak bermaksud untuk memfitnah Jusuf Kalla.
"Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Senin (29/5/2017).
Pada 2019, kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim.
Lalu, Silfester mengajukan banding.
Namun, hasil putusan banding hingga kasasi menyatakan Silfester bersalah, sehingga, masih pada 2019, masa hukumannya ditambah menjadi 1,5 tahun.
Vonis dijatuhkan Mahkamah Agung pada Mei 2019 melalui putusan kasasi nomor 287 K/Pid/2019, dan menyatakan Silfester bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP.
Akan tetapi, meski vonis tersebut sudah inkrah, hingga Agustus 2025 ini atau lebih dari lima tahun berselang, Silfester belum pernah ditahan.
(Tribunnews.com/Rizki A./Fahmi Ramadhan) (WartaKotalive.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.