Senin, 6 Oktober 2025

Sekolah Rakyat

Anggota DPR Nilai Kuota 5 Persen Anak Disabilitas di Sekolah Rakyat Harus Disertai Kesiapan Sistem

Legislator Komisi IX itu menyebutkan bahwa agar Sekolah Rakyat benar-benar inklusif, setidaknya harus memenuhi lima komponen penting

Penulis: Reza Deni
Jaka/Man (dpr.go.id)
SEKOLAH RAKYAT - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Netty Prasetiyani, menegaskan bahwa kebijakan kuota minimal 5 persen bagi anak disabilitas di Sekolah Rakyat harus disertai dengan kesiapan sistem yang matang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, menegaskan bahwa kebijakan kuota minimal 5 persen bagi anak disabilitas di Sekolah Rakyat harus disertai dengan kesiapan sistem yang matang.

Menurutnya, persentase minimal kuota tidak cukup.

Baca juga: Sekolah Rakyat di Subulussalam Aceh Siap Beroperasi September 2025

Sekolah Rakyat adalah program pendidikan berasrama yang digagas oleh pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Sosial, sebagai upaya memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan.

 

Program ini mulai diluncurkan pada tahun ajaran 2025/2026 dan ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

"Inklusi bukan sekadar membuka pintu, tapi menciptakan ruang belajar yang ramah, adaptif, dan mendukung perkembangan setiap anak,” kata Netty kepada wartawan, Sabtu (9/8/2025).

Berdasarkan data nasional, hanya terdapat sekitar 2.396 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar di 7.287 kecamatan. 

Artinya, satu SLB melayani rata-rata tiga kecamatan, membuat banyak anak disabilitas, terutama di daerah terpencil, kesulitan mengakses pendidikan.

“Sekolah Rakyat di wilayah pinggiran bisa menjadi harapan baru bagi anak disabilitas. Tapi jangan sampai menjadi jebakan baru jika negara tidak menyiapkan instrumen pendukungnya,” ujar legislator yang mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat VIII itu.

Disabilitas adalah kondisi keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik yang menyebabkan seseorang kesulitan melakukan aktivitas atau berinteraksi secara mandiri dengan lingkungan sekitarnya.

Legislator Komisi IX itu menyebutkan bahwa agar Sekolah Rakyat benar-benar inklusif, setidaknya harus memenuhi lima komponen penting. Adapun komponen itu antara lain tenaga pendidik dan pendamping yang kompeten — Guru kelas, mata pelajaran, serta shadow teacher yang memahami kebutuhan disabilitas.

Kemudian fasilits pembelajaran adaptif — Seperti media audio-visual, buku Braille, alat bantu komunikasi, dan papan tulis khusus.

Lalu infrastruktur fisik yang aksesibel — Termasuk toilet disabilitas, jalur kursi roda, ruang sensorik, serta alat mobilitas lainnya.

Kemudian Layanan kesehatan dan psikososial — Klinik tumbuh-kembang, ruang konsultasi, kerja sama dengan psikolog dan fisioterapis. Terakhir,  kurikulum dan evaluasi fleksibel , Individualized Learning Plan (ILP) untuk menyesuaikan metode belajar dengan kebutuhan tiap anak.

“Seorang anak disabilitas sensorik pendengaran (Tuli) butuh guru yang mampu berbahasa isyarat. Anak disabilitas sensorik netra butuh literatur Braille. Ini bukan soal belas kasihan, tapi hak atas pendidikan,” kata Netty.

Netty mengingatkan bahwa kebijakan inklusi tanpa persiapan justru bisa menciptakan trauma baru. Guru dan staf sekolah menghadapi tantangan psikologis seperti burnout, stres, hingga kecemasan karena belum mendapatkan pelatihan menghadapi kelas yang beragam.

“Komunikasi yang buruk bisa memicu frustrasi siswa, bahkan kekerasan. Maka perlu pelatihan dan pendampingan berkelanjutan untuk guru,” kata dia.

Baca juga: Pemerintah Targetkan Bangun 200 Sekolah Rakyat Setiap Tahun

Netty menekankan bahwa kebijakan inklusi harus berbasis pada right-based policy, yakni kebijakan publik yang mengakui, menghormati, dan memenuhi hak asasi setiap warga negara—termasuk anak disabilitas—atas pendidikan yang layak dan setara.

"Ini bukan soal kemurahan hati negara, tapi soal kewajiban negara untuk memenuhi hak warga,” ujarnya.

Netty menjelaskan bahwa implementasi Sekolah Rakyat inklusif membutuhkan dukungan anggaran negara yang memadai. Negara tidak boleh ragu mengalokasikan dana guna menjamin hak pendidikan bagi anak disabilitas.

Nety juga mengatakan beberapa poiny yang perlu didanai antara lain, rekrutmen dan pelatihan guru pendamping khusus, honor layak untuk guru dan pendamping, pengadaan alat bantu pembelajaran dan medis ringan, pelatihan dan pendampingan psikolog anak dan terapis, dan monitoring dan evaluasi berkala efektivitas sekolah inklusi

Lebih lanjut, Netty mendorong kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk mengimplementasikan sekolah inklusif secara bertanggung jawab.

“Pendidikan inklusif adalah cermin dari negara yang adil dan beradab. Tapi itu butuh niat politik yang sungguh-sungguh, bukan sekadar jargon,” pungkas Netty.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved