Abolisi dan Amnesti dari Presiden RI
Bivitri Sorot Abolisi dan Amnesti Tom Lembong-Hasto: Politisasi Hukum Diselesaikan Lewat Politik
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai pemberian abolisi dan amnesti dari Prabowo untuk Tom Lembong dan Hasto bentuk penyelesaian politik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai pemberian abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto kepada eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai bentuk penyelesaian politik terhadap persoalan hukum yang sarat nuansa politisasi.
Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia merupakan lulusan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1999 dan meraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris, pada 2002.
Langkah tersebut, kata Bivitri, menunjukkan problem politisasi hukum justru dijawab kembali dengan pendekatan politik.
"Ini politisasi hukum dibereskan dengan politik. Mungkin seperti menyelesaikan masalah buat Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dan pendukung-pendukung,” ujar Bivitri saat dihubungi, Jumat (1/8/2025).
Menurutnya, proses hukum seharusnya tetap dijalankan melalui mekanisme biasa seperti banding, bukan justru dipotong lewat abolisi atau amnesti.
Baca juga: KPK Siap Hentikan Banding Jika Terima Surat Amnesti Hasto Kristiyanto
"Padahal ada cara hukum normal lainnya. Banding,” katanya.
Bivitri mengatakan Prabowo memang tidak bisa memerintahkan hakim untuk membebaskan terdakwa.
Namun, presiden tetap memiliki ruang pengaruh melalui institusi kejaksaan.
Baca juga: Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong-Hasto Tak Lepas dari Tekanan Publik
“Memang Prabowo enggak bisa memerintahkan hakim untuk membebaskan. Tapi kan bisa mengkoordinasikan jaksa via Jaksa Agung. Isi kontra memori banding kan terserah jaksa,” jelasnya.
Ia mengingatkan, penggunaan kewenangan absolut presiden untuk menghapus proses atau putusan hukum dalam kasus-kasus seperti ini bisa menjadi preseden buruk.
“Risikonya bahaya untuk pemberantasan korupsi. Abolisi, amnesti itu kewenangan absolut presiden,” tegasnya.
Prabowo mengirimkan dua surat kepada DPR untuk meminta pertimbangan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
DPR menyetujui permintaan tersebut dalam rapat konsultasi.
Adapun surat untuk Tom tertuang dalam Surpres Nomor R43/Pres.07.2025, sementara amnesti kepada Hasto diajukan dalam Surpres Nomor R42/Pres.07.2025, keduanya bertanggal 30 Juli 2025.
Abolisi adalah hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
Sedangkan Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti diberikan melalui undang-undang atau keputusan resmi lainnya.
Tom Lembong divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016.
Atas perbuatannya tersebut Majelis Hakim memvonis Terdakwa Tom Lembong hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara pada perkara tersebut.
Tak hanya itu, Tom Lembong juga dihukum membayar pidana denda Rp 750 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Ia dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal ini mengatur korupsi dalam bentuk perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi negara
Sedangkan Hasto Kristiyanto dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku.
Hakim pun menjatuhkan vonis penjara 3 tahun dan 6 bulan terhadap Hasto.
Selain itu, Hasto juga dihukum untuk membayar pidana denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Ia dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.