UU Pilkada
Tok! MK Tegaskan Bawaslu Berwenang Putuskan Pelanggaran Pilkada
MK ubah segalanya: Bawaslu kini bukan cuma pengawas, tapi penentu keadilan Pilkada. Apa dampaknya?
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran administratif dalam Pilkada, bukan sekadar memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan ini secara mendasar mengubah pemaknaan norma dalam Pasal 139 dan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yaitu Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang — yang lazim dikenal sebagai UU Pilkada.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
“Menyatakan kata ‘rekomendasi’ pada Pasal 139 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘putusan’,” ujar Suhartoyo.
Putusan MK ini tidak hanya mengubah frasa “rekomendasi” menjadi “putusan”, tetapi juga menegaskan bahwa hasil pengawasan Bawaslu dalam Pilkada harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Perubahan tafsir ini dilakukan untuk menghapus disparitas antara rezim pemilu dan pilkada dalam penanganan pelanggaran administratif.
Sebelumnya, dalam UU Pemilu, Bawaslu berwenang menyelesaikan pelanggaran administratif melalui ajudikasi, dengan putusan yang wajib ditindaklanjuti oleh KPU. Namun dalam UU Pilkada, Bawaslu hanya memberi rekomendasi, yang kemudian diperiksa dan diputus oleh KPU.
MK menilai perbedaan ini menimbulkan kekeliruan dalam memahami posisi kelembagaan Bawaslu dan KPU, padahal keduanya merupakan penyelenggara pemilu yang sejajar.
Baca juga: Tok! MK Ubah Cara Penunjukan Petugas Data Pribadi, Cukup Satu Kriteria
Penegasan Kelembagaan
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menekankan pentingnya keseragaman norma untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.
“Semua ketentuan yang berkaitan dengan upaya mewujudkan pemilu berintegritas harus dibuat secara seragam,” tegas Ridwan.
Ia menyebut bahwa jika hasil pengawasan Bawaslu hanya berupa rekomendasi, maka proses tersebut menjadi formalitas belaka dan kehilangan daya ikat hukum. Hal ini berpotensi melemahkan pengawasan dan membuka celah impunitas.
Apa yang Diubah dalam UU Pilkada?
Pasal 139 ayat (1) sebelumnya berbunyi:
“Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota membuat rekomendasi atas hasil kajiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (5) terkait pelanggaran administrasi Pemilihan.”
Ayat (2) dan (3) menyebut bahwa KPU wajib menindaklanjuti rekomendasi tersebut dan menyelesaikan pelanggaran berdasarkan rekomendasi Bawaslu.
Pasal 140 ayat (1) menyatakan:
“KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari sejak rekomendasi Bawaslu diterima.”
MK menilai bahwa rumusan tersebut menimbulkan tafsir seolah-olah Bawaslu hanya memberi saran, sementara keputusan akhir tetap di tangan KPU. Padahal, dalam konteks pemilu nasional, Bawaslu memiliki kewenangan ajudikatif untuk memutus pelanggaran administratif secara langsung.
Baca juga: Usulkan Pilkada Dipilih DPRD Provinsi, Cak Imin Bantah Disebut Ingin Menyenangkan Prabowo
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.