Selasa, 7 Oktober 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Rusak Citra KPU jadi Hal Memberatkan Vonis 3,5 Tahun Hasto Kristiyanto

Dalam pertimbangannya, hakim Rios menekankan bahwa KPU adalah institusi yang memegang peranan krusial dalam demokrasi.

Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha
SIDANG VONIS HASTO - Wawancara terdakwa dugaan suap dan perintangan penyidikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto jelang sidang putusan di PN Tipikor Jakarta, Jumat (25/7/2025). Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menegaskan bahwa perbuatan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, telah mencoreng citra Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menegaskan bahwa perbuatan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, telah mencoreng citra Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu.

Merusak citra berarti membuat reputasi, gambaran, atau persepsi seseorang, kelompok, atau institusi menjadi buruk di mata publik.

Baca juga: Hasto Divonis 3,5 Tahun Penjara karena Lakukan Suap, tapi Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku

Hal ini menjadi salah satu pertimbangan utama yang memberatkan dalam vonis 3,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya.

Vonis adalah istilah hukum yang merujuk pada putusan hakim dalam sidang pengadilan terhadap suatu perkara, terutama perkara pidana. 

Hasto Kristiyanto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024.

"Perbuatan terdakwa dapat merusak citra lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya independen dan berintegritas," ujar ketua majelis hakim, Rios Rahmanto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Dalam pertimbangannya, hakim Rios menekankan bahwa KPU adalah institusi yang memegang peranan krusial dalam demokrasi dan harus terjaga dari intervensi manapun. 

KPU adalah lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia.

Upaya suap yang terbukti dilakukan oleh Hasto dinilai telah mencederai prinsip independensi dan integritas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh KPU.

Selain merusak citra penyelenggara pemilu, majelis hakim juga menilai perbuatan Hasto tidak sejalan dengan program pemerintah dalam memberantas korupsi yang tengah digalakkan.

"Perbuatan Hasto tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi," tambah hakim Rios.

Vonis yang diterima Hasto ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut 7 tahun penjara. 

Majelis hakim turut mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, seperti sikap sopan Hasto selama persidangan, belum pernah dihukum, dan memiliki tanggungan keluarga.

Dalam kasus ini, Hasto terbukti terlibat dalam pemberian suap kepada Komisioner KPU periode 2017–2022, Wahyu Setiawan, sebesar 57.350 dolar Singapura (sekira Rp600 juta) untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.

Selain hukuman penjara, Hasto juga dijatuhi denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

Baca juga: Profil Rios Rahmanto, Hakim Ketua di Sidang Vonis Hasto, Hartanya Rp566 Juta, Punya Utang Rp531 Juta

Perjalanan Kasus Hasto

Hasto Kristiyanto pertama kali ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada 24 Desember 2024 lalu.

Hasto lantas menjalani sidang perdana sebagai terdakwa pada 14 Maret 2025 lalu.

Kemudian, Hasto didakwa melakukan dua tindak pidana yaitu dugaan suap dan perintangan penyidikan.

Terkait dugaan suap, Hasto disebut bersama tersangka lainnya yaitu advokat Donny Tri Istiqomah; eks kader PDIP, Saeful Bahri; dan Harun Masiku; dalam kurun waktu Juni 2019-Januari 2020.

Dalam melakukan suap tersebut, Hasto menyediakan uang sebesar Rp600 juta untuk diberikan kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Wahyu Setiawan.

"Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU RI menyetujui permohonan PAW (pergantian antarwaktu) Caleg Terpilih dapil Sumsel 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," kata jaksa KPK dalam sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada 14 Maret 2025.

Jaksa menyebut, Hasto turut dibantu anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat itu, Agustiani Tio Fridelina, yang memiliki kedekatan dengan Wahyu.

Atas permintaan Saeful Bahri tersebut, Agustiani Tio Fridelina menghubungi Wahyu Setiawan untuk pengurusan penggantian Caleg Terpilih Dapil Sumsel-1 dari Riezki Aprilia kepada Harun Masiku.

Selanjutnya, pemberian suap kepada Wahyu oleh Hasto tidak dilakukan sekali bayar tetapi secara bertahap tergantung tahapan permohonan PAW terhadap Harun Masiku.

"Bahwa Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57,350.00 atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI periode 2017-2022," jelas jaksa.

"Bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dengan maksud supaya Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina mengupayakan KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel-1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," imbuhnya. 

Mengenai dakwaan perintangan penyidikan, jaksa mengatakan, Hasto memperoleh informasi, KPK bakal melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus Harun Masiku ini.

Awalnya, jaksa mengatakan, KPK melakukan OTT terhadap Wahyu Setiawan yang ketika itu menjabat sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Bandara Soekarno Hatta.

Penangkapan tersebut, karena Wahyu disebut menerima suap untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR lewat PAW untuk periode 2019-2024.

Pada saat bersamaan, jaksa mengatakan, Hasto mengetahui Wahyu terjaring OTT KPK sekitar pukul 18.19 WIB.

Saat itulah Hasto memerintahkan Harun Masiku agar merendam ponselnya dan kabur.

"Kemudian terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya ke dalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu di kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh petugas KPK," kata jaksa.

Selanjutnya, Nurhasan bertemu Harun Masiku di Hotel Sofyan Cut Mutia, Jakarta Pusat, sekira pukul 18.35 WIB.

KPK disebut tidak bisa melacak handphone Harun Masiku pada pukul 18.52 WIB.

Lantas, penyidik KPK memantau keberadaan Harun Masiku lewat ponsel milik Nurhasan dan terpantau berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Kemudian, Jaksa menambahkan, petugas KPK mendatangi PTIK, namun tidak berhasil menemukan Harun Masiku.

Atas perbuatannya, Hasto dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dalam perkembangannya, Hasto dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan penjara oleh jaksa dalam kasus Harun Masiku ini pada 3 Juli 2025 lalu.

Adapun hal yang memberatkan adalah Hasto dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

"(Hal memberatkan lainnya) terdakwa tidak mengakui perbuatannya," kata jaksa.

Sementara, hal yang meringankan, adalah terdakwa bertindak sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.

Atas tuntutan tersebut, jaksa menganggap berdasarkan fakta persidangan, Hasto telah memenuhi unsur Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved