Senin, 6 Oktober 2025

UU Pemilu

NasDem: Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Bentuk Pencurian Kedaulatan Rakyat

NasDem menyatakan sikap tegas terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
HO/DPP NasDem
PUTUSAN MK - DPP Partai NasDem menyatakan sikap tegas terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). NasDem menilai putusan tersebut berpotensi menimbulkan krisis konstitusional hingga deadlock dalam sistem ketatanegaraan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP Partai NasDem menyatakan sikap tegas terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). 

Dalam pernyataan resminya, NasDem menilai putusan tersebut berpotensi menimbulkan krisis konstitusional hingga deadlock dalam sistem ketatanegaraan.

Pernyataan resmi disampaikan langsung oleh jajaran elite partai dalam konferensi pers di NasDem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025). 

Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Wakil Ketua Umum Saan Mustopa, Sekjen Hermawi Taslim, Anggota Majelis Tinggi Lestari Moerdijat, Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Roberth Rouw, Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda, serta sejumlah petinggi lainnya.

“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” kata Lestari Moerdijat (Rerie) saat membacakan sikap resmi partai.

Rerie menambahkan, Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. 

Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. 

Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.

“MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ucapnya. 

MK, lanjut Rerie, melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. 

Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.

Bagi NasDem, pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. 

Hal ini bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. 

Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. 

Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved