UU Pemilu
Putuskan Pemilu 2029 Tidak Serentak, MK Dianggap Kerap Buat Norma Baru dan Lampaui Kewenangan
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin mempersoalkan kecenderungan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kerap membuat norma baru dalam putusan-putusan yudisialnya.
Baca juga: Hormati Putusan MK, Ketua KPU: Pemilu Serentak Membuat Penyelenggara Harus Kerja Ekstra
Hal ini disampaikan Zulfikar seusai putusan MK yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 mendatang.
Zulfikar menyambut baik putusan tersebut. Namun, dia menilai langkah MK itu telah memasuki wilayah pembentuk undang-undang yang semestinya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah.
Dia menyebut fenomena ini sebagai bentuk tafsir konstitusi yang terlalu jauh hingga menghasilkan norma hukum baru.
"Mestinya, itu menjadi wilayah membentuk undang-undang. Iya kan?" kata Zulfikar kepada Tribunnews.com, Minggu (29/6/2025).
Menurut Zulfikar, banyak ketentuan dalam konstitusi yang memang belum diatur secara rinci, tetapi hal itu seharusnya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah untuk merumuskannya.
"Kalau memang di undang-undang dasar sendiri itu apa istilahnya itu, tidak jelas atau belum jelas aturannya normanya, nah mestinya yang bisa menafsirkan pertama kali itu adalah DPR sebagai pembentuk undang-undang," ujarnya.
Zulfikar mencontohkan putusan MK soal sistem lima kotak dalam Pemilu 2019 yang dinyatakan konstitusional, dan kini kembali dengan putusan yang berbeda arah, yakni pemisahan Pemilu nasional dan daerah.
Hal ini, menurutnya, menunjukkan MK tidak sekadar menguji norma, tetapi juga membentuknya.
"Sayangnya kita sebagai pembentuk undang-undang melahirkan undang-undang MK yang menyatakan putusan MK itu final dan mengikat. Padahal di undang-undang dasar bilangnya hanya final," ucapnya.
Zulfikar berpendapat, hal tersebut kerap membuat MK melampaui kewenangannya dalam membuat putusan.
Baca juga: Perludem Tak Masalah Jabatan DPRD 2024 Diperpanjang demi Transisi Pemilu 2029
"Ya, mestinya kan begitu ini, kalau memang strike MK itu pada menguji norma. Tetapi kan karena dia pada akhirnya ultra petita," ungkapnya.
Banyak Korban Jiwa
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2029 tidak serentak. Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (26/6/2025) lalu tersebut, hakim konstitusi mengumumkan pelaksanaan antara Pemilu dan Pilkada harus ada selisih waktu maksimal dua tahun atau 2,5 tahun.
Sehingga, MK menyatakan norma dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai:
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.