Sabtu, 4 Oktober 2025

Sinergi Perguruan Tinggi dan Industri Mandek, 842 Ribu Sarjana Terancam Jadi Pengangguran

Ribuan sarjana di Indonesia kini menghadapi kenyataan pahit, karena ijazah tak lagi menjamin pekerjaan.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Wahyu Aji
zoom-inlihat foto Sinergi Perguruan Tinggi dan Industri Mandek, 842 Ribu Sarjana Terancam Jadi Pengangguran
Istimewa
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Gunawan Tjokro yang menyoroti urgensi membangun jembatan kolaborasi demi menyelamatkan jutaan sarjana dari pengangguran.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ribuan sarjana di Indonesia kini menghadapi kenyataan pahit, karena ijazah tak lagi menjamin pekerjaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 842.378 lulusan perguruan tinggi masih menganggur.

Angka itu seolah menjadi potret buram dari hubungan tak harmonis antara dunia kampus dan dunia industri.

Gunawan Tjokro, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Negeri Semarang (UNNES), menyebut relasi antara perguruan tinggi dan industri masih belum menyatu, meskipun konsep link and match serta Merdeka Belajar telah lama digaungkan.

"Sekalipun konsep link and match dan merdeka belajar telah diterapkan, dampak sosial belum cukup signifikan. Hingga hari ini industri dan perguruan tinggi tampak seperti dua pulau terpisah tanpa jalan penghubung yang memadai,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).

Gunawan yang juga Komisaris Utama PT Dynaplast menyoroti empat aspek utama yang membuat sinergi antara kampus dan industri tak berjalan: perbedaan orientasi, sumber otoritas, tujuan, dan hasil akhir. Menurutnya, kampus lebih menekankan pengembangan ilmu, sementara industri berpikir praktis dan mengarah pada keuntungan pasar.

"Orientasi perguruan tinggi adalah kepada pengembangan pengetahuan baru melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun industri cenderung lebih pragmatis karena berorientasi pada penerapan pengetahuan dan keterampilan untuk melayani pasar," jelasnya.

Ketimpangan ini berdampak langsung pada ketidaksesuaian antara lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Alhasil, banyak sarjana yang lulus dengan nilai akademis memadai, namun tak cukup relevan untuk langsung diserap industri.

Lebih jauh, Gunawan mengkritisi sumber otoritas yang berbeda antara kedua belah pihak. Kampus mengacu pada jurnal ilmiah dan indeks akademik, sementara industri mengacu pada tuntutan pasar.

"Keberhasilan industri diukur melalui kemampuannya menyelesaikan masalah konkret di masyarakat secara komersial. Perguruan tinggi cenderung memperluas pengetahuan dan memberikan kontribusi pada literatur ilmiah," paparnya.

Solusi: Bangun Jembatan, Jangan Sekadar Pelabuhan

Gunawan mengusulkan tiga strategi besar untuk mengakhiri keterputusan ini: harmonisasi kebijakan, platform kolaborasi digital, dan penyelesaian ego sektoral.

“Harmonisasi kebijakan menjadi strategi pertama karena Indonesia adalah negara hukum. Di sisi lain, kita menyadari bahwa banyak peraturan di Indonesia yang tumpang tindih dan bahkan kontraproduktif," katanya.

Ia menekankan pentingnya penyelarasan UU Pendidikan Tinggi dengan UU Perindustrian, termasuk memberi insentif pajak untuk perusahaan yang mengembangkan program Praktisi Mengajar.

"Dalam konteks ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi harus diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian."

"Perlu mendorong agar praktik 'Praktisi Mengajar' dijadikan sebagai mandat bagi semua industri sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR),” jelasnya lagi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved