Laut China Selatan
Tiongkok akan Terus Kuatkan Hegemoni di Laut China Selatan untuk Amankan Kepentingan Ekonomi
Itu sebabnya China kini memiliki beberapa lapis kekuatan untuk menjaga kedaulatan dan penguasaannya atas Laut China Selatan
Sebelumnya ASEAN juga sudah menerapkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), sebuah traktat yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.
Pada 22 Juli 1992, para menteri luar negeri negara-negara ASEAN juga sudah menandatangani Deklarasi ASEAN tentang LCS di Manila, Filipina, sebagai upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Selain itu, pada November 2002, ASEAN bersama sama dengan RRC juga telah mengeluarkan Deklarasi Tata Perilaku dari Berbagai Pihak di LCS (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea), yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja.
Deklarasi ini berisi komitmen dari negara-negara anggota ASEAN dan RRC untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di LCS, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Meski demikian, menurut Laksda Ponto, masih terdapat berbagai permasalahan di LCS. Dalam pandangannya, salah satu faktor yang mempengaruhi permasalahan keamanan di kawasan tersebut adalah sikap RRC yang berhadap-hadapan dengan kekuatan besar lain, khususnya AS.
Pada satu sisi, RRC menganggap kehadiran AS mengakibatkan instabilitas di LCS. Pada sisi lain, dalam pandangan AS, klaim RRC yang ilegal itu di Tiongkok harus dilawan dengan kebebasan navigasi dan operasi (FONOPS).
Baca juga: Pengamat Soroti Strategi Maritim Indonesia Hadapi Tantangan Geopolitik di Laut China Selatan
Sementara itu, klaim Tiongkok terhadap Laut China Selatan yang berdasarkan sembilan garis putus-putus yang bertumpang tindih dengan ZEE sebagian negara-negara ASEAN juga berpotensi menimbulkan masalah.
“Problemnya, nelayan Indonesia yang menangkap ikan di wilayah sengketa bisa ditangkap oleh Penjaga Pantai China,” tutur mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI tersebut.
Ketua FSI Johanes Herlijanto mengatakan, diskusi yang digelar lembaganya ini merupakan upaya untuk memahami apa yang RRC ingin capai melalui diplomasi maritimnya di Asia Tenggara akhir-akhir ini, dan bagaimana Indonesia sebaiknya merespons terhadap siasat yang dilaksanakan oleh China.
Menurut pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, upaya untuk memahami tujuan diplomasi China menjadi sangat penting karena negara itu diduga berupaya untuk mendapatkan kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial mereka yang hilang.
“Salah satu yang mereka anggap sebagai teritori mereka adalah kawasan LCS, yang juga mencakup Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” tuturnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.