RUU KUHAP
RUU KUHAP dan RUU Polri Dinilai Berisiko Menyimpang dari Prinsip Demokrasi dan Hak Asasi
Ketua Padepokan Hukum Indonesia, Musyanto, menegaskan bahwa reformasi hukum pidana tidak boleh terjebak pada perubahan normatif semata.
Penulis:
Eko Sutriyanto
Editor:
Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tokoh hukum dan masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran atas arah reformasi hukum pidana Indonesia saat diskusi publik bertajuk RUU KUHAP dan RUU Polri: Menguji Arah Hukum Pidana Dalam Demokrasi Konstitusional yang digelar Padepokan Hukum Indonesia di Jakarta belum lama ini.
Diskusi yang menghadirkan kalangan akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan aktivis hak asasi manusia ini menyoroti dua rancangan undang-undang strategis namun kontroversial yakni RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Ketua Padepokan Hukum Indonesia, Musyanto, menegaskan bahwa reformasi hukum pidana tidak boleh terjebak pada perubahan normatif semata.
Baca juga: Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik dalam RUU KUHAP Dikritik Akademisi
Menurutnya, nilai demokrasi dan hak asasi manusia harus menjadi pijakan utama.
“Demokratisasi hukum pidana bukan semata soal perubahan teks. Ini soal bagaimana hukum berpihak pada rakyat, memberi perlindungan, dan menjamin keadilan,” ujar Musyanto.
Ia juga mengkritisi pelemahan mekanisme praperadilan dan penghapusan konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP, yang justru bisa membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang aparat penyidik.
“Hakim komisaris adalah instrumen penting untuk memastikan due process of law. Tanpanya, potensi abuse of power dalam penyidikan akan sangat tinggi,” tegasnya.
Risiko Tumpang Tindih dan Lemahnya Kontrol Eksternal
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyuarakan kekhawatiran atas potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri, Kejaksaan, dan KPK dalam skema hukum acara yang baru.
“Kalau pengawasan internal tidak diperkuat dan tidak ada mekanisme kontrol dari luar, ruang penyalahgunaan kekuasaan akan semakin lebar,” kata Julius.
Menurutnya, tanpa kejelasan struktur kewenangan dan pengawasan, revisi aturan justru berisiko memicu konflik antar lembaga penegak hukum serta melemahkan akuntabilitas.
Di sisi lain, perwakilan Mabes Polri, Brigjen Pol Ratno Kuncoro, yang juga merupakan anggota tim perumus RUU Polri, membela usulan revisi sebagai bentuk adaptasi terhadap tantangan zaman.
“Kami berupaya menyusun aturan yang responsif terhadap dinamika kejahatan modern, tanpa mengesampingkan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kepolisian perlu dilengkapi perangkat hukum yang memadai untuk menghadapi ancaman seperti terorisme siber, kejahatan lintas negara, hingga penyebaran hoaks berbasis teknologi.
Baca juga: Menyelamatkan Reformasi: Kritik Terhadap RUU Polri di Tengah Semangat Pembatasan
Namun demikian, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, memperingatkan bahwa penguatan kewenangan Polri harus diiringi sistem kontrol yang ketat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
RUU KUHAP
Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib |
---|
Komisi III DPR Pastikan Terbuka Jika KPK Ingin Bahas RKUHAP |
---|
Dasco Minta Komisi III DPR Segera Bahas RUU KUHAP dengan KPK |
---|
KPK Sampaikan 17 Poin Kritis RKUHAP, Komisi III DPR Bantah Upaya Lemahkan KPK |
---|
Abraham Samad Sebut RUU KUHAP Akan Mempersulit KPK Berantas Korupsi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.