Penerapan KRIS Dikhawatirkan Bisa Susutkan Jumlah Tempat Tidur bagi Pasien JKN
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengkhawatirkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dapat menyusutkan jumlah tempat tidur bagi pasien JKN.
TRIBUNNEWS.COM – Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengkhawatirkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dapat menyusutkan jumlah tempat tidur bagi pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kabarnya KRIS satu ruang perawatan disebut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan diterapkan di seluruh rumah sakit pada 1 Juli 2025 mendatang.
Meski tinggal menghitung hari, banyak pihak yang menilai konsep penerapan KRIS masih tidak jelas. Salah satunya Timboel Siregar selaku Koordinator BPJS Watch yang mengatakan masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan aturan soal KRIS satu ruang perawatan.
“Dari proses awalnya saja sudah tidak mengacu pada perundang-undangan. Dengan KRIS diterapkan, akan menyusutkan jumlah tempat tidur bagi pasien JKN. Sekarang saja sudah sulit cari tempat tidur, bagaimana kalau nanti KRIS satu ruang perawatan diterapkan? Mestinya KRIS jangan satu ruang perawatan, tapi harus ada alternatif kelas lain,” tegas Timboel.
Menurut Timboel, banyak rumah sakit maupun tenaga kesehatan yang tidak siap dengan KRIS satu ruang perawatan. Ia juga menyoroti bahwa tidak ada regulasi yang menyatakan KRIS harus satu kelas.
Ia pun mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas layanan jaminan kesehatan bagi pekerja, bukan malah mengambil langkah sepihak yang menurunkan manfaat jaminan kesehatan, khususnya bagi pekerja.
“Menkes harusnya lebih bisa produktif dalam berkomentar. Sudah banyak kegaduhan, jangan menciptakan kegaduhan lainnya,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh sejumlah serikat pekerja. Menurut Koordinator Forum Jaminan Sosial, Jusuf Rizal, jika KRIS diterapkan, prinsip keadilan sosial tidak akan berjalan.
Apalagi jika manfaat yang biasa diterima oleh pekerja yang terdaftar JKN di kelas 1 dan kelas 2 jadi diturunkan bila KRIS satu ruang perawatan diberlakukan.
“Penerapan KRIS satu kelas merupakan bentuk pemaksaan pemerintah terhadap rakyat. Kita minta pemerintah berpikir ulang. Dengan sistem tiga kelas saja banyak masyarakat yang mengantre di rumah sakit. Bagaimana kalau diterapkan satu kelas perawatan? Kalau dipaksakan, kami siap tiup peluit,” kecam Wakil Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan (FSP KEP) KSPI, Sahat Butar Butar.
KRIS, Produk Anomali Kebijakan Pemerintah
Di sisi lain, kritik pedas juga datang dari Tulus Abadi, yang merupakan pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, sekaligus penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI).
Dalam tulisannya, Tulus juga mempertanyakan apakah KRIS merupakan mandat regulasi secara langsung atau justru penafsiran sepihak pemerintah. Pasalnya, dalam perundang-undangan dan regulasi yang ada, tidak ada satu kata pun yang secara eksplisit menyebutkan adanya penghapusan variasi kelas rawat inap 1, 2, dan 3 bagi peserta JKN.
“Ini jadi kebijakan yang anomali. Seharusnya, setiap kebijakan yang digulirkan mengacu pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi publik. Lalu kebijakan KRIS ini mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan siapa? Pemerintah harus satu kata dalam menerapkan KRIS dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan seluruh segmen peserta JKN,” tegas Tulus.
Menurut Tulus, penerapan KRIS satu kelas rawat bisa jadi ditunggangi asuransi kesehatan swasta. Jika KRIS diterapkan, asuransi kesehatan swasta akan untung banyak dengan menjaring potensi pasar dari peserta JKN kelas 1 dan 2 yang tidak mau dirawat inap dalah satu ruang kelas perawatan.
Nurhayati Jalani Operasi Tumor Payudara secara Gratis Berkat Program JKN |
![]() |
---|
Cerita Karyawan Swasta Dapat Kacamata Gratis berkat Program JKN |
![]() |
---|
Peserta JKN PBI di Pontianak Ini Cerita Manfaat Program Rujuk Balik |
![]() |
---|
RSUD Kota Bogor Terlilit Utang Puluhan Miliar Rupiah Bikin Pelayanan Terganggu, Ini Kata BPJS Watch |
![]() |
---|
Terbantu Ada Program JKN, Eka Bisa Jalani Perawatan 9 Hari di Rumah Sakit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.