Sabtu, 4 Oktober 2025

RUU KUHAP

Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik dalam RUU KUHAP Dikritik Akademisi

Polemik terkait Rancangan Undang-Undang KUHAP yang sedang dibahas DPR terus bergulir.

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
BAHAS RKUHP - Seminar bertajuk “Critical Review atas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025” di Gedung FH UB, Jumat (16/05/2025).  

”Tidak ada mekanisme eksternal atau independen yang dapat menilai apakah penyidikan itu dilakukan secara adil, sah, dan proporsional. Idealnya mestinya pengawasan penyidikan ini harus melibatkan lembaga judicial atau otoritas independensi agar proses berjalan dengan objektif,” imbuhnya.

Pembicara lainnya, akademisi FH Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson berpendapat pembatasan interaksi antara penyidik dan jaksa hanya satu kali dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru dan tidak realistis.

Dalam praktiknya, penuntut umum memiliki fungsi strategis yang seharusnya terlibat sejak awal proses penyidikan untuk menjamin bahwa setiap perkara berjalan sah, adil, dan proporsional.

“Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang melibatkan kejaksaan atau pengadilan, upaya memastikan akuntabilitas dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka menjadi ilusi,” tegasnya. 

Febby menambahkan  istilah "penyidik utama" dalam Pasal 7 RKUHAP juga tidak memiliki dasar dalam doktrin hukum acara pidana.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali menolak pendekatan eksklusivitas kewenangan penyidikan, dan menggarisbawahi  sistem peradilan pidana harus menjamin keseimbangan fungsi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penyidikan lainnya, terutama dalam konteks checks and balances. 

Oleh karena itu, Febby mengusulkan  RKUHAP memuat kewajiban koordinasi fungsional yang jelas antara penyidik dan penuntut umum.

Dia menilai, hal ini tidak dapat diartikan sebagai intervensi independensi lembaga, melainkan langkah menciptakan struktur kerja yang akuntabel dan efisien. Dalam kerangka ini, jaksa harus memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk penyidikan yang mengikat, serta memiliki akses penuh terhadap hasil penyelidikan dan alat bukti sejak dini. 

Selain pembatasan interaksi jaksa dan penyidik yang hanya berlangsung saat pelimpahan tersangka, sejumlah hal krusial lain turut menjadi catatan dalam kegiatan ini.

Ahli hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi mengkritik penerapan konsep “penyidik utama” seperti yang tertuang dalam Pasal 7 RKUHAP.

Selain tidak dikenal dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, konsep ini juga berpotensi menempatkan penyidik pada posisi yang menyerupai hakim.

“Dalam banyak ketentuan, penyidik diberi kewenangan untuk memanggil, menetapkan status, bahkan menilai keberatan atas penahanan. Ini menciptakan situasi di mana penyidik bukan hanya pelaksana penyelidikan, tetapi juga penafsir tunggal atas prosedur dan kebenaran. Itu sangat berbahaya dalam kerangka due process,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa kewenangan luas ini membuat penyidik dapat bertindak sebagai eksekutor, evaluator, bahkan quasi-judicial authority, yang seharusnya menjadi kewenangan lembaga peradilan.

Fachrizal menjelaskan  RKUHAP 2025 secara konseptual gagal menjawab kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang modern. Salah satu temuan dalam DIM adalah bahwa RKUHAP tidak menyediakan mekanisme pelaksanaan terhadap jenis-jenis pidana baru seperti pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana bersyarat yang telah diatur dalam KUHP. 

Selain itu, ketentuan penahanan tanpa persetujuan hakim, seperti yang diatur dalam pasal 87 dan pasal 92-94 RKUHAP 2025, dinilai merupakan kemunduran dari prinsip judicial scrutiny dan bertentangan secara frontal dengan amanat Pasal 9 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.  “Tanpa izin hakim, penahanan tidak lebih dari bentuk pemidanaan dini (pretrial punishment) yang merampas hak kebebasan seseorang tanpa kontrol objektif dari lembaga peradilan,” ujarnya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved