Minggu, 5 Oktober 2025

Petani NTT Korban Kriminalisasi Gugat UU Sumber Daya Hayati ke Mahkamah Konstitusi

Mikael Ane menggugat UU Perubahan atas Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ke Mahkamah Konstitusi.

dok. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
GUGATAN KE MK - Mikael Ane dari Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Petani bernama Mikael Ane dari Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mikael adalah salah satu pemohon dalam perkara uji formil dengan Nomor Perkara 132/PUU-XXII/2024. Ia pernah menjadi korban kriminalisasi akibat kebijakan konservasi.

Berdasarkan informasi dari Surat Permohonan di situs resmi MK, Mikael adalah warga masyarakat adat Ngkiong Dora, Lamba Leda Timur.

Pada Maret 2023, ia ditangkap aparat gabungan karena dianggap tinggal dan membangun rumah di kawasan konservasi.

Ia dijerat dengan UU Kehutanan dan UU Konservasi lama, hingga divonis bersalah dan dipenjara selama 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Ruteng.

Vonis tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang. Namun, Mahkamah Agung kemudian membatalkan seluruh putusan tersebut dan menyatakan bahwa perbuatan Mikael bukan tindak pidana.

Pengalaman kriminalisasi itu membuat Mikael merasa berkepentingan langsung terhadap berlakunya UU 32/2024.

Dalam permohonannya ke MK, Mikael menilai UU baru tersebut masih mengabaikan keberadaan masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Ia khawatir beleid itu kembali membuka celah kriminalisasi serupa terhadap masyarakat adat lain yang hidup turun-temurun di dalam kawasan konservasi.

"Bahwa Undang-undang a quo tidak memberikan ruang untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum adat dan pengetahuan tradisional."

"Hal ini karena tidak adanya pengaturan masyarakat adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi," bunyi salah satu dalil permohonan Mikael, dikutip pada Jumat (3/5/2025).

Baca juga: Mantan Jaksa Agung Sebut Putusan Terbaru MK Soal UU ITE Mukjizat

Permohonan uji formil ke MK diajukan pada 19 September 2024 bersama tiga organisasi: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). 

Mereka menilai pembentukan UU 32/2024 cacat prosedur dan tidak memenuhi ketentuan partisipasi bermakna sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya.

Perkara ini saat ini sedang berproses di MK. Sidang sempat tertunda karena padatnya agenda persidangan sengketa pemilihan kepala daerah. 

Baca juga: Polri Akan Adaptasi Putusan MK soal Batasan Pasal Karet di UU ITE

Namun, MK kembali menyidangkan perkara ini pada 28 April 2025 dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR RI dan Presiden RI selaku pembentuk undang-undang.

Hari ini sidang bakal berlanjut dengan agenda mendengar keterangan saksi pemohon. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved