Dedi Mulyadi Usulkan Rekrutmen PPPK Sopir Truk hingga Petugas Taman Tak Perlu Lewat Tes Digital
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyebut rekrutmen PPPK seperti sopir truk hingga petugas taman tak perlu diseleksi dengan sistem digital
TRIBUNNEWS.COM - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyoroti penurunan dana alokasi pembangunan di sejumlah daerah akibat besarnya anggaran belanja pegawai.
Terutama setelah pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Ia menyebut bahwa kondisi ini menyebabkan beberapa daerah hampir tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasar pembangunan.
“Dana pembangunan terkuras untuk belanja pegawai, sehingga infrastruktur banyak yang terbengkalai,” ujar Dedi Mulyadi dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI yang disiarkan langsung YouTube TVR Parlemen pada Selasa (29/4/2025).
Menurutnya, rekrutmen PPPK seharusnya disesuaikan dengan kualifikasi dan kebutuhan nyata di daerah, agar tidak membebani anggaran.
Ia memberikan contoh, tidak semua posisi membutuhkan proses seleksi digital.
Termasuk untuk pekerjaan dengan spesifikasi teknis dan non-administratif.
“Sopir truk sampah, tukang sapu, tukang taman, tenaga office boy, tenaga pengamanan, itu menurut saya tidak perlu seleksi (dengan sitem) digital," katanya.
Dedi juga mengungkap, sistem rekrutmen PPPK saat ini menimbulkan paradoks.
Hal ini arena di satu sisi ASN dan PPPK direkrut, sementara di sisi lain kebutuhan tetap harus dipenuhi melalui sistem outsourcing.
Lanjutnya, demikian menunjukkan adanya ketidakefisienan dalam pengelolaan tenaga kerja di tingkat daerah dan provinsi.
Baca juga: Balasan Dedi Mulyadi Disindir Gubernur Konten oleh Gubernur Kaltim Rudy Masud, Irit Rp47 Miliar
Ia menegaskan perlunya perbaikan menyeluruh dalam sistem rekrutmen ASN dan PPPK agar lebih tepat sasaran dan tidak membebani fiskal daerah.
Adapun rapat kerja atau rapat dengar pendapat yang digelar Komisi II DPR RI dipimpin oleh Rifqinizami Karsayuda.
Hadir Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk mewakili Mendagri Tito Karnavian yang berhalangan karena dinas kerja keluar negeri.
Kemudian para gubernur yang hadir adalah Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution hingga Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono IX.
Daerah Otonomi Baru
Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan ada 341 daerah yang mengusulkan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) tetapi masih prematur.
Dia menyebut masih banyak yang belum memenuhi syarat administratif.
"Contoh secara administratif untuk bisa kemudian menjadi calon daerah otonomi baru kan dia harus kemudian disahkan oleh masing-masing, kalau provinsi ya, masing-masing bupati, wali kota, pengusul," kata Rifqi kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Wilayah seperti Solo yang diusulkan menjadi daerah istimewa, dikatakan Rifqi, harus mendapatkan persetujuan dari gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Tengah.
"Itu masih jauh, masih sangat prematur yang 341 itu. Ada sekitar 10 persennya yang syarat administratif ini sudah terpenuhi. Tetapi itu pun kan harus dilihat secara objektif di lapangan," ujarnya.
Rifqi menjelaskan Komisi II DPR telah memanggil Dirjen Otonomi Daerah untuk membahas Peraturan Pemerintah (PP) terkait yang mengatur desain besar otonomi daerah dan daftar wilayah yang bisa dimekarkan atau digabungkan.
Namun PP itu tak kunjung dibuat sejak dulu.
"Dirjen Otonomi Daerah itu dipanggil karena sudah 11 tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 undang-undang tentang pemerintahan daerah disahkan tapi kemudian 2 PP yang diwajibkan oleh undang-undang itu tak kunjung dibuat oleh pemerintah," pungkasnya.
Sebelumnya, wacana menjadikan Solo sebagai Daerah Istimewa mencuat di rapat Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik, menyebut ada enam wilayah yang mengajukan diri menjadi daerah istimewa, salah satunya Surakarta.
Akmal membeberkan tumpukan usulan yang masuk ke Kemendagri, termasuk 42 pengajuan pembentukan provinsi, 252 kabupaten, 36 kota, hingga permintaan status khusus dan istimewa.
“Per April 2025, ada enam wilayah yang meminta status daerah istimewa dan lima wilayah minta status daerah khusus. Ini PR besar yang harus dibicarakan bersama DPR karena menyangkut amanat undang-undang,” kata Akmal.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mengakui adanya dorongan dari sejumlah pihak untuk menjadikan Solo sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Namun, hal tersebut perlu pertimbangan yang sangat matang.
“Usulan Solo jadi daerah istimewa itu memang ada. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai pemberian status keistimewaan malah menimbulkan rasa ketidakadilan bagi daerah lain,” jelasnya.
Aria mengingatkan bahwa setiap pemberian status khusus atau istimewa harus berdiri di atas dasar historis, administratif, dan kebudayaan yang kuat. Namun, juga tidak menyinggung rasa keadilan antar wilayah.
“Memang Solo punya rekam jejak historis, dari zaman perjuangan melawan penjajah sampai kekayaan budayanya. Tapi relevansinya untuk saat ini apa? Solo sekarang sudah jadi kota dagang, kota industri, kota pendidikan. Solo sama aja dengan Papua atau daerah lain,” tegasnya.
Menurut Aria, Komisi II belum melihat urgensi untuk membahas usulan status istimewa sebagai prioritas legislatif.
“Komisi II sejauh ini tidak terlalu tertarik membahas status daerah istimewa sebagai sesuatu yang penting atau mendesak. Fokus kita masih pada hal-hal yang lebih substansial,” pungkasnya.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Reza Deni)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.