Rabu, 1 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Paulus Tannos: Saya Sukarela Diekstradisi ke Indonesia Jika Hakimnya Tidak Korup

Paulus Tannos yang muncul di Pengadilan Negeri Singapura pada 22 April 2025 melalui tautan video, mengatakan bahwa dia tidak menyetujui ekstradisinya.

Editor: Hasanudin Aco
Dok. KPK
TIDAK MAU EKSTRADISI - Buronan kasus e-KTP Paulus Tannos ditangkap di Singapura beberapa waktu lalu menolak diekstradisi ke Indonesia. 

 

TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA – Buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, berubah pikiran.

Sebelumnya pengusaha yang ditangkap di Singapura ini bersedia diekstradisi ke Indonesia dalam sebuah surat kepada Presiden Prabowo Subianto.

Namun kabar terbaru, Paulus Tannos yang muncul di Pengadilan Negeri Singapura pada 22 April 2025 melalui tautan video, mengatakan bahwa dia tidak menyetujui ekstradisinya.

“Saat ini, saya tidak ingin pergi ke Indonesia.

“Saya akan dengan sukarela ke Indonesia, dengan catatan pengadilan di Indonesia adil dan hakimnya tidak korup,” ujarnya dikutip dari The Straits Times.

Tannos dilaporkan telah menulis surat dari Penjara Changi kepada Presiden Indonesia Prabowo dan beberapa media Indonesia pada tanggal 17 April 2025 yang menunjukkan kesediaannya untuk kembali ke negara tersebut.

Saat itu dia  menyatakan bersedia menghadapi tuntutan yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya.

“Asalkan proses hukumnya adil dan dilakukan oleh hakim yang berintegritas tinggi serta bebas dari korupsi”.

Menanggapi pertanyaan dari The Straits Times, Juru Bicara Kementerian Hukum Singapura (MinLaw) mengatakan pada 22 April.  "Karena berdasarkan surat Paulus Tannos kepada Presiden Indonesia, terlihat bahwa ia bersedia diekstradisi, kami akan meminta pengadilan untuk segera menggelar sidang guna memfasilitasi permintaannya dan mengatur ekstradisi segera."

Indonesia telah mengajukan permintaan ekstradisi resmi untuk Tannos pada 24 Februari.

Juru bicara Kementerian Hukum dan HAM mengatakan bahwa permintaan ekstradisi Indonesia telah ditinjau secara menyeluruh oleh lembaga penegak hukum Singapura, yang telah memastikan bahwa persyaratan perjanjian ekstradisi dan Undang-Undang Ekstradisi Singapura telah dipatuhi.

Perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia mulai berlaku pada 21 Maret 2024.

Undang-undang ini memberikan ekstradisi untuk daftar pelanggaran, termasuk korupsi, pencucian uang, dan penyuapan, dan dapat diterapkan secara retrospektif terhadap kejahatan yang dilakukan hingga 18 tahun lalu.

Berdasarkan Undang-Undang Ekstradisi, seorang buronan dapat memberikan persetujuan atas ekstradisinya dan mengesampingkan proses ekstradisi penuh.

Tannos , juga dikenal sebagai Tjhin Thian Po, adalah presiden dan direktur Sandipala Arthaputra, sebuah perusahaan teknologi yang mendapat kontrak untuk memproduksi sebagian proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP pemerintah Indonesia.

Skandal korupsi tersebut menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun (S$180 juta).

Tannos dilaporkan masuk dalam daftar buronan Indonesia sejak 19 Oktober 2021, dan diyakini telah tinggal di Singapura sejak 2012.

Dia ditangkap pada 17 Januari oleh Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura, setelah pemerintah Indonesia mengajukan permintaan penangkapan sementara terhadapnya.

Ia hadir di pengadilan pada tanggal 22 April untuk sidang jaminan, di mana pengacaranya Bachoo Mohan Singh berpendapat bahwa kliennya harus dibebaskan dengan jaminan karena ia sakit dan lemah.

Singh mengatakan pengadilan dapat mengenakan persyaratan kepada kliennya, termasuk membatasi Tannos pada lokasi-lokasi tertentu, memberlakukan jam malam yang melarangnya meninggalkan rumah setelah pukul 6 sore, dan mewajibkannya menghubungi petugas investigasi setiap hari.

Pengacara tersebut mencatat bahwa Tannos telah melakukan “banyak wawancara” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia dari tahun 2014 hingga 2024, dan menambahkan: “Jika dia ingin mencalonkan diri, dia akan mencalonkan diri saat pertama kali mereka datang dan berbicara dengannya.”

Singh berpendapat bahwa pihak berwenang Indonesia tidak membuktikan kasus mereka terhadap Tannos, dan bahwa banyak saksi kasus tersebut telah meninggal.

Wakil Penasihat Negara Senior Sivakumar Ramasamy tidak setuju bahwa kondisi medis Tannos cukup parah untuk menjamin pembebasannya dengan jaminan.

Ia mengatakan jaminan hanya boleh dipertimbangkan apabila ia menderita penyakit serius atau kelemahan fisik yang tidak dapat ditangani secara wajar di penjara.

Sivakumar juga membantah bahwa pada tahap proses ini, pengadilan tidak perlu mengevaluasi manfaat bukti yang diajukan terhadap Tannos.

Sebaliknya, ketentuan itu hanya berlaku untuk sidang pendahuluannya pada bulan Juni, saat pengadilan harus menentukan apakah ia harus diekstradisi ke Indonesia.

Sidang jaminan akhirnya ditunda setelah pembela meminta waktu tambahan untuk memperoleh laporan medis.

Kasus Tannos akan disidangkan lagi pada tanggal 28 April.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved