Selasa, 7 Oktober 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

Ketua PN Jaksel Diduga Terima Suap Rp 60 Miliar, Anggota Komisi III DPR Heran

Ketua PN Jaksel diduga menerima suap Rp 60 miliar untuk mengatur vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi tersebut.

Kompas.com/ Shela Octavia
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Muhammad Arif Nuryanta saat digiring keluar menuju mobil tahanan, Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4/2025). Ia ditetapkan menjadi tersangka suap vonis bebas tiga korporasi sawit terdakwa korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bob Hasan mengaku heran dengan banyaknya perkara suap yang melibatkan para pejabat di lembaga penegak hukum, termasuk di lembaga peradilan.

Dia pun menilai hal ini sangat ironis karena menghambat pembenahan sistem hukum dan pembangunan yang akan dilakukan pemerintah.

Hal itu dikatakannya saat dimintai tanggapan terkait Kejaksaan Agung (Kejagung) yang berhasil mengungkap kasus penanganan perkara suap ekspor crude palm oil (CPO), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dimana kasus ini melibatkan Ketua Pengadilan Jakarta Selatan (Jaksel) MAN alias Muhammad Arif Nuryanta .

Saat perkara itu disidangkan, Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus).

Ia diduga menerima suap Rp 60 miliar untuk mengatur vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi tersebut.

"Saya heran, justru saat-saat ini banyak terungkap kasus suap yang melibatkan pejabat-pejabat di lembaga penegakan hukum bahkan lebih jauhnya dilembaga peradilan, ini sangat ironis,” kata Bob Hasan saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (13/4/2025).

“Sehingga hal ini sangat sulit untuk Negara kita menuju kepada pembenahan demi pembangunan Nasional,” sambung dia.

Menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI ini, pembangunan Nasional sebuah Negara perlu bertumpu pada penegakan hukum yang objektif dan independent.

Sehingga, Bob Hasan pun menedesak agar penegak hukum untuk menghentikan praktik-praktik suap dan hal lain yang justru menghambat pembangunan Nasional.

Dia juga meminta agar adanya penegakan hukum serius dalam menyelesaikan perkara suap seperti ini. 

Hal ini, kata Ketua Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) ini, untuk memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus pembenahan sistem peradilan dari tingkatan atas hingga bawah.

“Kasus seperti ini bukan kasus biasa penting sekali putusan hukum atau vonis harus mencerminkan efek jera serta lembaga Peradilan harus berbenah dari atas sampai bawah (dari Mahkamah Agung sampai tingkat Pengadilan Negeri),” tandas Legislator asal Dapil Lampung II ini.

Terima Rp 60 Miliar

Sebagai informasi, Kejaksaan Agung RI mengungkap secara gamblang motif di balik skandal suap dan gratifikasi dalam penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sebelumnya, korps Adhyaksa telah menetapkan empat tersangka dalam dugaan suap perkara tersebut.

Empat tersangka tersebut adalah MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan (WG) yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Sementara itu Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) berprofesi sebagai advokat.

"Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

"Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN)  diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah," ujar Abdul Qohar.

"Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG," imbuhnya.

Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved